BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Sri Wahyuni seorang ibu muda berusia 25 tahun itu sekarang dalam kondisi hamil 5 bulan. Suasana langit berkabut di Kota Pekanbaru karena kebakaran hutan dan lahan saat ini membuat dia benci untuk melakukan aktifitas di luar rumah. Tapi walau bagaimanapun dia harus tetap bekerja untuk membantu suaminya memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Saat ini, Sri sedang mengandung anak pertamanya. Dia khwatir dengan kondisi kabut asap saat ini, akan memberikan dampak buruk terhadap perkembangan janinnya.
“Pokoknya pemerintah harus bertanggungjawab kalau anak saya cacat,” katanya kepada betuahpos.com, Jumat (10/07/2015).
Sebagai masyarakat biasa, Sri merasa pemerintah masih setengah hati untuk menuntaskan kabut asap di Riau. Bertahun-tahun dia tinggal di Kota Pekanbaru, bencana yang sama masih saja terulang.
“Aku benci tinggal di Riau karena kabut asap. Masa tak ada solusinya. Bencana ini kan bukan sekali dua kali terjadi,” sambungnya.
Kekhawatiran Sri memiliki dasar yang kuat. Dia sudah baca dampak apa yang akan dialami anak pertamanya jika terus-terusan menghirup udaya yang tidak sehat ini.
Kualitas oksigen yang menurun akan mempengaruhi sel otak balita. Oksigen yang sudah di bawah normal, dengan sendiri tidak bisa menormalkan udara disel otak pada anak. Dampaknya jangka panjangnya. Iteligency pada anak akan menurun. “Kami tidak mau anak kami lahir idiot,” sambungnya.
Dia menyebutkan itu resiko terburuk buat balita akibat kabut asap yang terus dihirup anak.
Sedangkan untuk ibu hamil sangat rentan terserang penyakit yang berimbas pada janin. Tidak maksimalnya kualitas oksigen karena asap juga akan merusak jaringan sel pada janin. Sri takut sel otak anaknya tidak bisa berkembang dengan baik. Jika kebakaran hutan terus terjadi. Ini akan menjadi efek buruk untuk jangka panjang. Anak-anak di Riau tingkat kecerdasannya terancam dibawa normal.
Sebegitu aktifnya Sri berusaha mencari informasi soal efek yang akan terjadi pada janinnya. Hampir tiap hari dia buka google untuk mencari tahu kemungkinan terbesar yang akan terjadi pada janinnya. Yang ditakutkannya adalah, efek jangka panjang.
Sri tidak rela pemerintah merenggut kebahagiaan rumah tangganya, apabila anaknya lahir dalam kondisi cacat, karena kabut asap di Riau belum bisa diatasi.
“Aku minta tolong pada pemerintah jangan ada lagi kebakaran hutan. Jangan biarkan perusahan membakar lahan. Kesal aku. Yang pasti kami merisaukan perkembangan janin. Aku benci dengan asap ini. Masa pemerintah tidak bisa mengatasi. Jangan lah jadikan ini sebagai tradisi buruk,” ucapnya degan nada kesal.
Sementara itu, pada Jumat (10/07/2015) pagi, titik panas atau hotspot di Riau, tercatat mengalami peningkatan tajam. Hasil pengamatan citra satelit Terra dan Aqua mendeteksi ada 192 hotspot yang tersebar di 10 kawasan di Riau. Terparah berada di kabupaten Rohil dan Pelalawan.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) stasiun Pekanbaru, Jumat pagi mendeteksi 192 titik panas (hotspot) di Riau. Lokasinya yakni di Inhil dan Pekanbaru dengan masing-masing tiga hotspot, Siak empat hotspot, Kampar lima hotspot, Dumai 11 hotspot, Kuansing 13 hotspot dan Bengkalis 17 hotspot. Selain itu, titik panas juga ada di kabupaten Inhu sebanyak 20 hotspot, Pelalawan dengan 52 hotspot, serta tertinggi di Rohil sebanyak 63 hotspot. Total untuk wilayah Sumatera ada 215 titik panas, dimana 192 titik panas diantaranya terdapat di Riau. (Melba)