بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Sahabatku, aku pernah membaca sebuah hadist :
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ.
“Bahwa nilai amal itu ditentukan oleh bagian penutupnya.”
Hadist ini adalah pengingat kepada kita untuk tidak terlena apalagi sombong dengan amal ibadah yang kita perbuat. Banyak pada zaman sekarang manusia sombong seolah amal ibadahnya lah yang terhebat bahkan di level orang yang disebut ulama, mereka tidak berhenti meremehkan orang lain sehingga antar ulama saling menghujat. Apakah akhir hidup mereka akan husnul khotimah ? Jawabnya jelas belum tentu.
Di zaman Rasulullah SAW ada seorang lelaki ini berani luar biasa. Tak dibiarkannya musuh-musuh Allah yang lewat di hadapannya lolos. Ia menerjang kawanan musuh tanpa rasa takut. Lelaki ini menjadi magnet perhatian para sahabat Rasulullah SAW. Gesit, berani, dan tak kenal rasa takut kala berjihad. Benar-benar sosok mujahid sejati.
Namun, keliru. Gumaman para sahabat yang menyebutnya, “Dia pasti yang beruntung dalam peperangan ini,” dipatahkan Rasulullah SAW. “Sungguh dia adalah ahli neraka.”
Sontak sabda Nabi Muhammad SAW tersebut membuat para sahabat keheranan. Bagaimana mungkin, seseorang yang sangat berani membela panji Allah dan dijanjikan masuk surga jika syahid justru divonis masuk neraka?
Maka, salah seorang sahabat lain mengikuti lelaki tersebut. Sang lelaki itu pun terluka hingga ia mengeluh kesah. Ia tak tahan rasa sakit yang teramat itu. Lantas ia mencabut pedangnya dan ia tancapkan di tubuhnya. Lelaki itu pun tewas bunuh diri justru saat pintu surga terbuka bagi yang syahid dalam medan pertempuran.
Kisah yang termaktub dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Bukhari ini memberikan banyak makna tentang amal. Bisa jadi apa yang tampak menjadi amal saleh di hadapan manusia belum tentu bermakna amal saleh di hadapan Allah SWT. Teks Arab Hadits tersebut:
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ قَالَ نَظَرَ النَّبِىُّ – صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – إِلَى رَجُلٍ يُقَاتِلُ الْمُشْرِكِينَ ، وَكَانَ مِنْ أَعْظَمِ الْمُسْلِمِينَ غَنَاءً عَنْهُمْ فَقَالَ « مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى هَذَا » . فَتَبِعَهُ رَجُلٌ فَلَمْ يَزَلْ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى جُرِحَ ، فَاسْتَعْجَلَ الْمَوْتَ . فَقَالَ بِذُبَابَةِ سَيْفِهِ ، فَوَضَعَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ ، فَتَحَامَلَ عَلَيْهِ ، حَتَّى خَرَجَ مِنْ بَيْنِ كَتِفَيْهِ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – « إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّهُ لَمِنْ أَهْلِ النَّارِ ، وَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ وَهْوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِخَوَاتِيمِهَا »
Amal akan dihitung sejak ia diniatkan hingga ia tuntas di akhirnya. Bahkan, sebuah amal justru dilihat di saat ujung dituntaskannya. Apakah ia tetap lurus dalam kaidah sunah baik tata cara maupun niat atau justru ia menyeleweng lewat niat-niat halus yang menggoda. Hidup dinilai dari akhirnya.
Ada sebuah hadits lain. Hadits yang cukup panjang diriwayatkan Imam Bukhari dari Abu Abdirrahman Abdullah bin Mas’ud RA. “Ada seseorang di antara kalian yang mengerjakan amalan ahli surga,” ungkap Nabi SAW dalam sabdanya. “Sehingga, tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali hanya sehasta. Kemudian ia didahului ketetapan Allah lalu ia melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka.”
“Ada di antara kalian yang mengerjakan amalan ahli neraka,” ujar Rasulullah SAW melanjutkan, “Sehingga jaraknya dengan neraka hanya tinggal sehasta. Kemudian ia didahului ketetapan Allah lalu mengamalkan perbuatan ahli surga, maka ia masuk surga.”
Potongan Hadits tersebut berbunyi:
… فَوَ اللّٰهِ الَّذِيْ لآ إِلٰهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا ۞
Tepat sudah. Betapa memulai sebuah pekerjaan dengan niat yang benar adalah penting karena niat menjadi pembeda apakah sesuatu itu bernilai ibadah atau bukan. Menjaga amal selepas niat juga penting karena kita mesti paham apakah tata caranya sudah digariskan syariat atau tidak. Namun, justru yang kadang terlewat, memastikan kesudahan dari sebuah amal tak kalah penting. Ia bahkan bisa menentukan apakah keseluruhan amalnya menjadi sia-sia atau bernilai tinggi. Hidup dinilai dari akhirnya.
Jika seseorang dalam pandangan manusia dicap telah menjadi ahli surga karena dekat dengan amal saleh, itu belumlah cukup. Jangan-jangan terselip kesombongan sehingga di akhir hayat lantas melakukan sebuah kemaksiatan. Maka, setitik kemaksiatan itu mengapus semua amalan saleh di mata manusia. Mengelu-elukan manusia harus proporsional, objektif, alih-alih mengultuskan.
Begitu juga jika seseorang begitu buruknya di mata manusia. Sehingga, ia dicap tak pantas menginjak surga karena kemaksiatan demi kemaksiatan. Namun, di akhir hayatnya ia mengamalkan amalan penduduk surga. Maka, laksana tobat nasuha yang menghapus dosa, bisa jadi ia melesat lebih tinggi menuju janahnya. Mengolok-olok manusia yang dicap buruk bukanlah tabiat yang baik. Karena, kita sama sekali tak pernah tahu bagaimanakah akhir kehidupan dari orang tersebut. Sekali lagi, hidup dinilai dari akhirnya.
Jangan Terkagum
Jangan terkagum pada amalan kita saat ini. Karena akhir hayat itulah penentunya, apakah benar kita bisa istiqamah. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« لاَ عَلَيْكُمْ أَنْ لاَ تُعْجَبُوا بِأَحَدٍ حَتَّى تَنْظُرُوا بِمَ يُخْتَمُ لَهُ فَإِنَّ الْعَامِلَ يَعْمَلُ زَمَاناً مِنْ عُمْرِهِ أَوْ بُرْهَةً مِنْ دَهْرِهِ بِعَمَلٍ صَالِحٍ لَوْ مَاتَ عَلَيْهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ ثُمَّ يَتَحَوَّلُ فَيَعْمَلُ عَمَلاً سَيِّئاً وَإِنَّ الْعَبْدَ لِيَعْمَلُ الْبُرْهَةَ مِنْ دَهْرِهِ بِعَمَلٍ سَيِّئٍ لَوْ مَاتَ عَلَيْهِ دَخَلَ النَّارَ ثُمَّ يَتَحَوَّلُ فَيَعْمَلُ عَمَلاً صَالِحاً وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدٍ خَيْراً اسْتَعْمَلَهُ قَبْلَ مَوْتِهِ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ يَسْتَعْمِلُهُ قَالَ « يُوَفِّقُهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ ثُمَّ يَقْبِضُهُ عَلَيْهِ »
“Janganlah kalian terkagum dengan amalan seseorang sampai kalian melihat amalan akhir hayatnya. Karena mungkin saja seseorang beramal pada suatu waktu dengan amalan yang shalih, yang seandainya ia mati, maka ia akan masuk surga. Akan tetapi, ia berubah dan mengamalkan perbuatan jelek. Mungkin saja seseorang beramal pada suatu waktu dengan suatu amalan jelek, yang seandainya ia mati, maka akan masuk neraka. Akan tetapi, ia berubah dan beramal dengan amalan shalih. Oleh karenanya, apabila Allah menginginkan satu kebaikan kepada seorang hamba, Allah akan menunjukinya sebelum ia meninggal.” Para sahabat bertanya, “Apa maksud menunjuki sebelum meninggal?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Yaitu memberikan ia taufik untuk beramal shalih dan mati dalam keadaan seperti itu.” (HR. Ahmad, 3: 120, 123, 230, 257 dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah 347-353 dari jalur dari Humaid, dari Anas bin Malik. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dalam Tahqiq Musnad Imam Ahmad mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat shahih Bukhari – Muslim. Lihat pula Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 1334, hal yang sama dikatakan oleh Syaikh Al-Albani)
Oleh karenanya, penting sekali amalan yang kontinu dan menjadi akhir hidup dengan penutup terbaik yaitu husnul khatimah. Tugas kita sebagai hamba hanyalah satu, istiqamah. Kita harus memastikan betul di awal dalam niat, di tengah dalam amal, dan di akhir dalam ikhtiar, semua terjaga dalam koridor. Kematian memang ditakdirkan menjadi sebuah misteri.
Hikmahnya, tidak ada alasan untuk tidak memastikan setiap detik yang kita lakukan adalah amal yang terbaik. Karena, bisa jadi detik tertentu adalah garis batas kehidupan kita dan kita ingin menjadi yang terbaik saat batas hidup sudah mencapai akhir. Kita ingin hidup yang dinilai dari akhirnya dalam akhir yang baik.
Imam Abdullah bin Alwi Al-Hadadad selalu berdoa :
اَللَّهُمَّ اجْعَلْ خَيْرَ عُمْرِي آخِرَهُ، وَخَيْرَ عَمَلِي خَوَاتِيمَهُ، وَخَيْرَ أَيَّامِي يَوْمَ أَلْقَاكَ فِيهِ
Allahummaj’al khaira ‘umrii aakhirahu wa khaira amalii khwaatimahu wa kharra ayyamii yauma lawaaika.
“Ya Allah, jadikanlah sebaik-baik umurku pada penghujungnya dan sebaik-baik amalku (juga) pada penghujungnya dan sebaik-baik hari-hariku adalah dari pertemuan dengan-Mu.”
_______________________________________________________
Oleh: Dr. Supardi, SH., MH.,
Kepala Kejaksaan Tinggi Riau
Als. Rd Mahmud Sirnadirasa