Program pemerintah untuk melakukan konversi minyak tanah (mitan) ke gas elpiji bisa dikatakan berhasil. Karena di berbagai penjuru nusantara, dari kota  hingga pelosok desa sudah banyak yang mengganti kompor minyaknya dengan kompor gas. Namun masalah klasik masih muncul, yakni kelangkaan dan tingginya harga elpiji di tangan konsumen akhir, terutama bagi masyarakat di daerah .
BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Itu jugalah yang dirasakan Suharsih, warga Labuhan Tangga Baru, Bagan Siapiapi, Riau. Ia harus bersabar lebih lama jika ingin menikmati elpiji (Liquified Petroleum Gas/LGP) dengan harga sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.  Karena sejak beberapa bulan terakhir  ini, ia dan tetangga-tetangganya terpaksa harusmembeli elpiji subsidi ukuran 3 kilogram seharga Rp 30 ribu. Â
“Kami sudah biasa beli elpiji 3kg harga Rp 30 ribu. Malahan terakhir ini naik jadi Rp 32 ribu,” ujarnya pekan lalu kepada bertuahpos.com.  Mereka enggan untuk beralih ke elpiji ukuran 12 kilogram, karena untuk warga di sana, harganya terlalu tinggi. Elpiji 12kg dijual dengan harga Rp 150 ribu.
Keluhan itu diamini juga oleh anaknya yang bekerja di Pekanbaru, Dian. Menurutnya, keluhan warga Labuhan Tangga Baru bukan hanya harga mahal dan jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET). Namun juga sulit mendapatkan gas elpiji bersubsidi tersebut. Â Menurutnya, faktor utama yang menyebabkan elpiji mahal dan susah adalah faktor geografis.
“Kampung kami ini perkampungan trans yang jauh dari pusat pemerintahan. Untuk ke pangkalan terdekat, jaraknya lebih dari 10 kilometer. Kondisi jalan juga buruk, apalagi kalau masuk musim hujan. Jadi akhirnya pilih beli di kedai-kedai terdekat saja,” Â terang Dian.
Hal serupa juga dialami Kartyka, warga Desa Batang Batindih, Kecamatan Rumbio Jaya , Kampar. Masyarakat di kampungnya juga biasanya mendapatkan gas elpijik 3 kg di kedai-kedai kecil. Mereka tak pernah ke pangkalan karena jarak yang cukup jauh.
 Namun Kartyka lebih beruntung dari pada Suharsih. Meskipun ada kenaikan harga, tetapi tak sedrastis Suharsih.  “Di tempat kami beli gas elpiji, yang ukuran 3kg harganya Rp 20 ribu. Naik sedikit saja,” ujarnya.
Kondisi yang dialami Suharsih dan Kartyka merupakan salah satu contoh keluhan masyarakat di wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan. Mereka merasa diuntungkan dengan program konversi mitan ke gas elpiji, karena memasak menggunakan gas elpiji lebih praktis dan cepat. Â Akan tetapi jarak yang jauh dari kontrol serta kondisi jalanan yang buruk, memaksa mereka untuk mengeluarkan dana lebih tinggi untuk mendapatkan bahan bakar tersebut.
Dalam wawancaranya dengan bertuahpos.com, Brasto Galih Nugroho, Marketing Operation Region I PT Pertamina (Persero ) menjelaskan jalur distribusi elpiji hingga ke masyarakat. Pertamina akan mengeluarkan elpiji dalam bentuk curah ke depot elpiji atau Stasiun Pengisian dan Pengangkutan Bulk Elpiji (SPPBE). Mulai dariSPPBE inilah, jalur distribusi dipegang oleh swasta.
 “Dari Pertamina, kami menyalurkan elpiji dalam bentuk curah ke depot elpiji. Nah, agen ini akan mengambil gas yang sudah dikemas dalam tabung-tabung di depot elpiji dan menyalurkannya ke pangkalan-pangkalan. Karena pangkalan merupakan garda depan penyaluran elpiji ke masyarakat,” jelasnya.
Jalur distribusi yang panjang ini memang sering kali menjadi alasan kenaikan harga elpiji di tangan konsumen akhir. Namun ia tak menyangka jika harganya bisa menembus angka Rp 30 ribu untuk tabung gas subsidi ukurang 3 kg. Â Besar kemungkinan, tingginya harga ini merupakan ulah dari para penjual di luar agen dan pangkalan. Â Dan hal tersebut jelas di luar jalur resmi yang ditetapkan Pertamina dan pemerintah daerah setempat.
Jika menilik kebutuhan gas elpiji di masyarakat, keberadaan penjual gas elpiji di luar pangkalan, sebenarnya tak terlepas dari hukum ekonomi permintaan dan penawaran. Dimana ada permintaan gas oleh masyarakat, yang tak dipenuhi oleh pangkalan resmi elpiji. Sehingga peluang ini diambil oleh pemilik kedai-kedai kecil.
Menurut Kartyka, warga Desa Batang Batindih, jumlah pangkalan gas di daerah masih kurang menjangkau warga di desanya. Karena itu ia berharap ada kebijakan dari Pertamina maupun pemkab untuk lebih memperhatikan permasalahan ini.
“Misalnya, Pertamina kan memiliki dana CSR. Kenapa tak dicoba untuk melakukan pembinaan kepada pemilik kedai-kedai untuk naik kelas jadi pangkalan gas. Sehingga bisa meminimalisir kenaikan harga yang tak wajar,†ujarnya.
Dengan membina kedai-kedai untuk menjadi pangkalan resmi, maka bukan hanya jalur distribusi gas elpiji saja yang terselamatkan. Namun kesejahteraan dan perekonomian masyarakan di desa-desa bisa terbantu.
Pembinaan juga bisa dilakukan dari sisi manajemen, termasuk penerapan digitalisasi untuk sistem distribusi hingga ke pangkalan elpiji. Memang sudah ada sistem yang bisa mengontrol jalur distribusi gas secara langsung dari Pertamina hingga ke agen. Namun untuk di pangkalan, masih menggunakan sistem manual.
“Sekarang sudah jamannya digital, semua serba digital. Jadi distribusi elpiji bisa saja mengaplikasikan sistem tersebut hingga ke pangkalan. Rasanya tidak sulit, karena internet sudah masuk ke pelosok-pelosok Riau,†sarannya.
Tentunya sistem digitalisasi ini juga perlu ditunjang dengan kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) yang cakap dan bertanggung jawab. Apalagi disebutkan, pangkalan adalah garda depan penyaluran elpiji. Artinya ada kewajiban dari pemilik pangkalan untuk bisa memilih konsumen yang layak beli elpiji bersubdisi atau yang non subsidi.
Dengan penerapan sistem digitalisasi yang bisa mengontrol keluar masuk elpiji ke konsumen, juga bisa dipantau dengan cepat jika ternjadi penyimpangan. Misalnya ada penjualan gas  dengan jumlah yang tak wajar di salah satu pangkalan, di hari itu juga bisa langsung ketahuan oleh Pertamina maupun stakeholder lainnya. Petugas pun bisa langsung turun untuk cek ke lokasi. Semua ini mungkin dilakukan karena semua sudah terhubung sistem secara online.
Peran Teknologi Informasi dalam Menjaga Distribusi
Handi Sapta Muki, Direktur PT IFS Solutions Indonesia dalam artikelnya menyebutkan keseimbangan antara jumlah permintaan dan pasokan yang tersedia, serta kelancaran proses distribusi memegang peranan yang sangat penting untuk tercapainya keseimbangan. Sistem rantai suplay mutlak diperlukan dalam mengelola komoditas atau barang yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat luas. Termasuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan elpiji bersubsidi.
Dipaparkan juga, akhir-akhir ini kita sering mendengar istilah Sistem Logistik Nasional atau disingkat Sislognas. Sislognas merupakan upaya yang tengah dilakukan pemerintah dalam mempersiapkan diri menghadapi era persaingan ekonomi bebas yang akan mulai diterapkan secara penuh pada tahun 2015 mendatang.
Secara definisi Sislognas adalah suatu sistem yang mampu untuk menjamin berlangsungnya suatu proses pergerakan atau distribusi barang. Baik material maupun produk dari satu tempat ke tempat lainnya dengan baik dan sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan, dalam skala wilayah nasional Indonesia.
Keberhasilan Sislognas tentu saja tidak akan terlepas dari kesiapan dan kemauan pemerintah untuk mempersiapkan dan membangun sarana infrastruktur yang memadai. Lebih jauh lagi ke depannya Sislognas harus mampu berinteraksi dengan system logistic dunia (international). Karena dalam era perdagangan bebas nanti sudah tidak ada lagi batas-batas negara yang membatasi aktivitas dan interaksi ekonomi dunia.
Selain ketersediaan infrastruktur fisik, peranan teknologi komunikasi dan informasi juga penting. Karena akurasi data dan informasi sangat diperlukan dalam mengelola rantai suplay untuk tercapainya keseimbangan permintaan dan pasokan tersebut.
Teknologi informasi ini akan berperan dalam membuat perkiraan permintaan, pengelolaan gudang, perencanaan dan penjadwalan pasokan, pengelolaan pengiriman barang dan membuat rencana distribusi. Yang lebih penting lagi adalah kemampuannya melakukan penelusuran (tracking) dalam proses rantai suplay ini. (A Dwi Indrastuti)