BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Staf Khusus Menteri Kesehatan RI, bidang Peningkatan SDM Kesehatan dokter Maria, menjawab tudingan terhadap banyaknya revisi Permenkes dalam penanganan wabah corona, sehingga membuat daerah kebingungan dalam proses penanganan. Hal ini pula dianggap menjadi pemicu meningkatnya angka kasus terkonfirmasi corona, khususnya di Provinsi Riau.
Dokter Maria menjelaskan, revisi Permenkes itu harus dilakukan sebagai rujukan dalam penanganan kasus. Sedang revisi peraturan itu sendiri merujuk pada ketentuan organisasi kesehatan dunia atau WHO, dan perkembangan sains terbaru.
Dalam beberapa kali revisi Peraturan Kementerian Kesehatan (Permenkes), dapat dilihat dari awal mula wabah ini melanda. Misalnya dalam pemakaian masker, hanya dianjurkan kepada tenaga medis dan masyarakat yang sakit. Namun dalam perjalanannya, ternyata itu tidak menghentikan penyebaran virus.
“Pada Juli 2020, keluarlah peraturan yang mewajibkan setiap orang mengenakan masker saat melakukan aktivitas di luar rumah,” ujar dokter Maria.
Tudingan lain, yang juga diklarifikasi, mengenai kebutuhan swab yang sebelumnya diberlakukan dua kali terhadap pasien positif corona. Namun dalam Permenkes terbaru, swab hanya perlu dilakukan sekali saja.
Dia mengakui bahwa ada persepsi-persepsi publik terhadap perubahan ketentuan metode swab. Namun publik juga perlu tahu bahwa pada prinsipnya swab bukan mendeteksi keberadaan virus secara berkelanjutan.
“Jika kemarin Anda swab, hasilnya keluar sehari setelahnya, maka itu bukan menggambarkan kondisi saat ini. Melainkan adalah gambaran kondisi Anda kemarin, pada saat diswab. Sifatnya on the spot, buka realtime. Nah, apakah setiap hari kita harus diswab. Itu kan nggak mungkin,” jelasnya.
Oleh sebab itu, diberlakukannya sekali swab terhadap pasien covid-19 untuk mengetahui tingkat akurasi keberadaan virus, hanya dilakukan sesuai dengan kebutuhan.
Persoalan lain yang juga membingungkan dalam aturan penanganan Covid-19 yang dikeluarkan oleh Kemenkes, yakni mengenai orang yang melakukan kontak erat dengan pasien positif, tidak lagi dilakukan swab, melainkan hanya karantina mandiri.
Dokter Maria mengatakan, di berbagai negara, penanganan terhadap hal seperti ini juga berbeda. Ada negara yang memang aktif melakukan swab secara menyeluruh. Namun ada juga negara yang hanya melakukan swab kepada warga bergejala.
“Nah, Indonesia ini tengah-tengahnya. Sesuai kebutuhan. Kenapa mereka harus dikarantian 14 hari, sebab dalam sains modern, waktu tersebut merupakan masa inkubasi virus. Dalam 14 hari virus akan mati sendiri. Secara umum kami menganggap bahwa orang yang melakukan kontak erat dengan pasien positif, mereka sudah dianggap positif. Maka hanya perlu dilakukan karantina mandiri selama 14 hari agar virus mati,” ungkap dokter Maria.
Dia menambahkan, revisi Permenkes tentang penanganan wabah corona dilakukan hingga lima kali itu, bukan bermaksud untuk melemahkan penanganan penyebaran virus, melainkan hanya disesuaikan dengan kebutuhan, dan penanganan terhadap kelompok rentan tertular — orang-orang bergejala.
Meski demikian, dia mengatakan, pemerintah secara umum menyadari bahwa tingkat kesadaran warga berbeda-beda. Inilah yang menjadi tantangan dalam mengatasi pihak-pihak yang memang harus melakukan karantina mandiri.
“Ada yang sadar, ada juga yang masa bodoh. Itulah yang perlu diberikan penyadaran sosial kuat, saling mengingatkan, agar tercipta kebersamaan. Karena satu-satunya yang cepat bisa mengatasi wabah ini kepatuhan dan kekompakan. Itu yang dilakukan Wuhan,” jelasnya. (bpc2)
#satgascovid19 #ingatpesanibu #ingatpesanibupakaimasker #ingatpesanibujagajarak #ingatpesanibucucitangan #pakaimasker #jagajarak #jagajarakhindarikerumunan #cucitangan #cucitanganpakaisabun