BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU –  Lima tahun terakhir, pertumbuhan industri kreatif telah menciptakan budaya berbelanja baru di pasaran. Para startup yang tidak memiliki banyak modal untuk menginvestasikan sebuah outlet untuk memamerkan produk mereka, memulai dengan tren e-commerce, pop-up market, dan penjualan invidual di media sosial di kota-kota besar Indonesia. Ini membuat segala sesuatu menjadi mudah di lakukan, seperti berbelanja.
Permintaan yang tercipta memacu kemajuan teknologi dengan makin bertumbuhnya berbagai macam aplikasi, terutama yang memungkinkan untuk berbelanja dengan mudah dan cepat.
Dilansir dari kabar24.bisnis.com Founder OMG Consulting, Yoris Sebastian, mengatakan, hal ini membuat tumbuh suburnya aplikasi mobile shopping, baik dalam bentuk market place seperti tokopedia, bukalapak, elevenia, maupun online retail shopping seperti Lazada dan Zalora. Hal ini juga bisa berdampak pada meningkatnya perekonomian karena terus tumbuhnya nilai transaksi belanja, budaya belanja secara online di kalangan generasi muda saat ini
Kemudahan-kemudahan yang didapat sekarang menimbulkan budaya konsumerisme. Budaya konsumerisme merupakan sebuah paham yang dijadikan sebagai gaya hidup yang menganggap barang mewah sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dan pemuasan diri sendiri. Budaya konsumerisme ini bisa dikatakan sebagai contoh gaya hidup yang tidak hemat.
Dampak dari budaya konsumerisme itu terlihat dari konsumtifnya generasi milenial. Generasi milenial merupakan sebutan untuk generasi yang lahir tahun 1980 – 2000-an. Generasi itu juga disebut Generasi Praktis, karena untuk mendapatkan informasi hanya dengan mengakses internet.
Generasi milenial saat ini lebih pragmatis dan ingin segala sesuatu yang serbainstan. Hal ini berbeda dengan perilaku generasi sebelumnya terkait keuangan yang lebih menghargai proses.
Dari data OJK, di Indonesia, rasio Marginal Prospensity to save (MPS) berada di bawah rasio Marginal Prosperity to consume (MPC) sejak tahun 2013. Hal ini menandakan bahwa sejak beberapa tahun terakhir, lebih banyak masyarakat menghabiskan pendapatan untuk kegiatan belanja dibandingkan untuk menabung.
Ini diperkuat oleh Survei Manulife Investor Sentiment Index pada 2015 yang lalu, mengungkapkan 53% responden menghabiskan 70% dari penghasilan mereka untuk berbelanja, dan 10% dari responden menghabiskan 90% dari penghasilannya untuk belanja.
Dari kacamata individu, lemahnya budaya menabung sejak dini akan mengurangi kesempatan generasi milenial untuk mengakumulasi kekayaannya, yang seharusnya dapat mereka nikmati ketika usia mereka sudah tidak lagi produktif dan tidak sanggup berkerja lagi.
Riset yang digelar lembaga independen Provetic tentang perilaku belanja konsumen juga menunjukkan para generasi milenial cenderung memiliki perilaku menabung untuk hal-hal yang bersifat konsumtif.
Dikutip dari kabar24.bisnis.com, CEO Provetic, Iwan Setyawan mengatakan bagi generasi millenial, menabung tidak hanya untuk tujuan finansial yang besar seperti membeli rumah, tetapi juga untuk pembelanjaan yang bersifat konsumtif, seperti beli tiket konser musik atau untuk keperluan wisata.
Dalam riset media sosial oleh lembaga independen Provetic, selama 1 Desember 2015-31 Januari 2016, ditemukan sebanyak 41% dari 7.809 perbincangan mengenai alasan utama menabung demi keperluan konsumtif tersebut. Temuan lainnya, 38% dari 7,757 responden masih menggunakan uang dari ibu atau orang tua mereka dalam melakukan metode pembayaran, selain penggunaan kartu debit yang populer.
Munculnya platform belanja online banyak menarik minat kaum milenial, khususnya remaja atau anak muda. Ia dapat diakses dengan mudah dan dengan berbagai alasan platfrom yang menyediakan transaksi online. Bahkan belanja online menjadi keharusan oleh mereka.
Berbelanja online mulai menjadi kebutuhan anak muda, bukan hanya sebagai alternatif harga atau model, tetapi karena mereka sudah menikmati pengalaman belanja secara online. (Mg8)