BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Mendengar pertanyaan Nabi Sulaiman itu, Sang Puyangan perlahan menjawab. “Duh Gusti, walaupun begitu bagus sangkar yang mengurungku, tapi itu bukanlah tempatku. Tempatku adalah di alam bebas. Walaupun di sana serba kekurangan dan penuh kesulitan, dan di sini bersangkar emas dengan segala yang aku perlukan tersedia tanpa aku bekerja, namun aku lebih suka di alam bebas.”
Nabi Sulaiman mengerti apa yang dimaksud Puyangan. Nabi lalu memanggil 20 burung Jaga dan berkata: ” Aku panggil engkau semua agar membuka sangkar si burung Puyangan. Sesudah itu engkau antar Puyangan ke tempat asalnya,” perintah nabi kepada 20 burung Jaga itu.
Baca:Â Makrifat Burung Surga (12) : Dialog Tasauf Bayan & Menco
Burung Jaga segera memenuhi perintah Nabi. Puyangan pun menyembah pamit dan segera terbang tinggi ke angkasa. Dia diikuti burung Duta di belakangnya, melintas awan dan lautan.
Tidak lama kemudian dilihatlah sebuah bongkah batu selebar meja yang timbul dan tenggelam di tengah lautan. Ketika ombak mereda, Puyangan segera hinggap di atas batu itu dan terbang lagi di saat ombak menerpa. Terus demikian silih berganti, tetapi Puyangan lebih betah di tempatnya itu.
Burung-burung pengantar pun segera kembali menyampaikan apa yang dilihat kepada Sang Maha Raja. Kanjeng Nabi menjadi terharu. Itulah keunikan hidup bagi masing-masing makhluk yang tak bisa diubah-ubah lagi. Sangkar emas bagaikan hidup duniawi yang indah dan nikmat. Tapi jika salah letak akan membuat seseorang menderita, bahkan lupa kepada dirinya sendiri.
Itulah yang menyebabkan sebagian ahli makrifat memandang hidup duniawi itu sebagai penjara yang harus hati-hati dijalani sesuai kebutuhannya. Bagaikan orang kota yang harus hidup di gunung atau sebaliknya orang desa hidup di ibu kota negara, pasti tidak kerasan, pikirnya.
Baca:Â Makrifat Burung Surga (1) : 99 Burung Bayan Hijrah
Mendengar kisah itu, burung Bayan berseru keras. “Pantas, jika ada orang desa yang tidak bisa hidup di tengah priyayi di kota, karena tidak tahu tata krama, mandinya pun setahun sekali. Pada hari raya memakai baju baru pergi ke kota, lalu menjadi tontonan orang banyak. Suka membakar petasan, kalau diingatkan dikira membenci, karena hatinya telah membatu. Puyangan amat sangat bodohnya. Ia tidak mengerti nasehat Qur’an ati’ulla-ha wa’ati’urrasu-la (taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul). Nabi Sulaiman itu kan utusan Tuhan, mestinya Si Puyangan tidak mementingkan kehendaknya sendiri. Itulah suatu perumpamaan bagi hidup manusia di dunia yang seperti sebuah sangkar emas yang bisa dilebur, ada baik ada buruk, ada yang manut kepada Nabi ada pula yang ingkar.” (bersambung/jss)