BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Bulan Puasa sebentar lagi tiba. Umat Islam seluruh dunia melakukan puasa untuk mendapatkan pahala dari-Nya. Berlomba-lomba beribadah, menabur kebaikan, dan memperbanyak amalan.
Untuk menyambut bulan yang penuh berkah itu, ada sebuah buku menarik karya Munir Mulkhan yang rasanya laik dibaca. Buku itu berjudul Makrifat Burung Surga.
Buku ini ditulis tahun 1859 Jawa oleh seorang kiai desa yang bernama Mursydi, tinggal di Klaten. Oleh Munir, penulis buku Syech Siti Jenar yang laris itu, karya kiai desa itu diterjemahkan, dibahas, dan kemudian ditafsirkan.
Karya ini penuh simbol. Tokoh-tokoh yang dimunculkan, semuanya mempunyai makna yang dalam. Untuk itu, kendati hanya seekor burung yang bicara, tetapi burung ini taklah sekadar hewan berkicau. Apa yang diucapkan burung ini punya nilai spiritualitas yang sangat tinggi.
Memang, saduran dari buku ini sudah sering tayang. Namun isinya yang menyejukkan, rasanya masih menarik untuk kembali dihidangkan sebagai rabuk untuk menyuburkan keimanan kita.
Celoteh burung ini insyaallah akan memberi pelajaran berharga. Sebab ucapan dan tingkah-laku yang dikiaskan itu berasal dari Al-Quran dan Al-Hadist, serta Ijma’ dan Kiyas. Hanya agar mudah dicerna makna yang terkandung dalam buku ini, maka tambahan dan pengurangan so pasti dilakukan. Salam, Djoko Su’ud Sukahar, penyadur.
Â
Alkisah, sembilan puluh sembilan burung Bayan terbang menyertai seekor ratunya. Mereka terbang tinggi, belajar membelah angkasa raya. Kawanan burung ini hendak hijrah dari tempatnya semula di Gunung Emas, untuk mencari tempat baru di negeri yang konon bernama Kustam.
Telah lama burung-burung itu melayang-layang di angkasa, namun negeri yang dicari belum juga ditemukan. Dalam  kelelahan terbang itu mereka melihat ada sebuah pohon yang sangat besar, tinggi menjulang bagaikan menembus awan.
Wudi, nama pohon itu. Di pohon inilah sembilan puluh sembilan burung Bayan itu hinggap. Mereka beristirahat bersama sang ratu.
Melihat kelelahan rakyatnya, sang ratu berkata. “Wahai saudara-saudaraku semua, marilah kita sekarang membangun sangkar di kayu wudi ini. Saya percaya kita aman disini, karena kayu ini cukup tinggi, lurus, dan tanpa cabang, hingga kita bebas dari gangguan manusia.”
Semua burung itu pun setuju usulan Sang Ratu. Mereka memutuskan menetap di pohon wudi, dan mulailah pasukan burung itu membangun sarang. Mereka tak begitu peduli, di negeri mana mereka kini berada. Yang terpenting, pohon ini mereka yakini aman dari gangguan manusia.
Sudah lama burung-burung itu menetap di pohon wudi itu. Mereka membuat sangkar indah, dan menjadikan pohon itu sebagai perkampungan baru mereka. (bersambung)