BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Chating di facebook, buka profil mantan, dan bernostalgia ke masa lalu, akhirnya cinta lama bersemi kembali. Kemudian suami diceraikan. Begitulah pengaruh sosial media. Ini bukan cerita bohong. Ada banyak kasus perceraian terjadi di Tanah Air disebabkan oleh Sosmed.
Tingkat kecemburuan pasangan di Sosmed sangat berpotensi membuat hubungan rumah tangga retak hingga berujung pada perceraian. 1.826 kasus perceraian disebabkan oleh adanya pihak ketiga tercatat di Pengadilan Agama sepanjang 2017. Penggunaan media sosial yang semakin berkembang dituding menjadi salah satu penyebab dari meningkatnya angka perceraian tersebut. Dan kasus ini terjadi di bekasi, dan dibeberapa daerah lain di Indonesia.
Seorang istri muda di Kota Pekanbaru mengalami hal demikian. Dia terpaksa menggugat cerai suaminya lantaran sering kepergok bermain serong dengan wanita lain. Dan mereka berkomunikasi melalui facebook dan WhatApp. “Saya menemukan percakapan mereka yang romantis. Lantaran sudah capek harus berkelahi karena masalah itu, kami sepakat untuk berpisah,” katanya, Senin 27 Maret 2018.
Kasus seperti ini tidak banyak bahkan tidak tercatat di Pengadilan Agama Pekanbaru. Sebab dalam pencatatan kasus biasanya tercatat penyebab perceraian hanya. perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, dan lainnya. Tapi pemicu awal tidak dijelaskan.
“Yang terdata dikami penyebab kasus perceraian KDRT, murtad, dipenjara, dan meninggalkan salah satu pasangan. Masuk di dalamnya perselingkuhan,” Kata Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Kota Pekanbaru, Fakhriadi.
Permohonan kasus cerai di Pengadilan Agama Pekanbaru menumpuk. Ada banyak pasangan memilih mengakhiri jalinan kasih di rumah tangganya lantaran merasa sudah tidak cocok untuk terus berdampingan. Data dari Pengadilan Agama Pekanbaru, per Januari hingga Maret 2018 ini saja sudah ada 517 berkas gugatan perceraian masuk dan kini tengah diproses. Penyebabnya beragam. Tapi yang dominan adalah faktor ekonomi keluarga.
Kata Fakhriadi, tuntutan hidup di Kota Pekanbaru yang semakin tinggi menjadi salah satu pemicu bagi pasangan suami istri memilih untuk berpisah. “Hampir dua pertiga faktornya disebabkan ekonomi,” ujar Fakhriadi.
Harvard University pernah melakukan penelitian terkait ini di tahun 2016 lalu. Hasil penelitian itu mengemukakan bahwa suami yang tidak memiliki pekerjaan berisiko akan digugat cerai oleh istrinya. Dari penelitian itu mengemukakan bahwa suami yang tidak memiliki pekerjaan dan banyak menghabiskan waktu di rumah berpotensi bercerai jika dibandingkan dengan keluarga dengan kondisi ekonomi di bawah rata-rata sekalipun. Status seorang istri sebagai pekerja sama sekali tidak memberi pengaruh terhadap kondisi rumah tangga akan membaik. Sebab pandangan bahwa suamilah yang harus berusaha dan bekerja sudah menjadi streotipe lingkungan. Bahkan hampir seluruh masyarakat dunia sepakat dengan itu, seperti dipansir dari scienceidntimes.com.
Belum lagi, jika mengacu pada data penganggaran yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Riau. Bahwa angka pengangguran lebih terpusat di kota ketimbang di desa, dengan selisih angka yang sangat signifikan. Kepala BPS Riau, Aden Gultom memgatakan, jumlah pengangguran terbuka di perkotaan masih tetap dan terdapat ketimpangan karena jumlah pengangguran di pedesaan justru menurun. Ini artinya, masyarakat menganggur di perkotaan lebih tinggi dibanding di perdesaan. Pada Agustus 2017, pengangguran terbuka di perkotaan sebesar 9,25 persen, sedangkan di pedesaan hanya 4,20 persen. “Totalnya sebanyak 184.560 orang di Riau menganggur,” katanya.
Pertama, faktor ekonomi. Faktor ini merupakan faktor terbesar diantara faktor lainnya. Faktor ekonomi meliputi gaya hidup atau kebutuhan serta sosial media. “Hampir 75 persen yang mengajukan permohonan perceraian di Kota Pekanbaru disebabkan faktor ekonomi,” ujar Fakhriadi.
Kedua, faktor kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Faktor ini juga menjadi salah satu penyebab terjadinya perceraian di Kota Pekanbaru. “KDRT juga menjadi salah satu faktor yang dominan,” tutur Fakhriadi.
Selain ekonomi dan KDRT, Fakhriadi turut menjelaskan murtad juga menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya perceraian di Kota Pekanbaru. “Murtad atau pindah agama menjadi faktor yang ketiga. Ini terjadi ketika salah satu pihak memutuskan pindah ke agama lainnya,” terang Fakhriadi.
Sementara faktor ke empat ialah masuk penjara. Faktor ini sering terjadi setelah salah seorang pasangan terlibat kasus hukum. Sedangkan faktor terakhir ialah perselingkuhan. “Hal ini terjadi setelah salah satu pihak meninggalkan satu pihak lainnya,” pungkas Fakhriadi.
Menurut Pengamat Komunikasi Sosial Media, Dr. Rulli Nasrullah MSi, Medsos lebih kepada medium untuk menjalin komunikasi dan interaksi, antara seseorang dengan individu lainnya. Artinya, tanpa kehadiran media sosial pun kalau sudah ada hal-hal yang mengarah ke perceraian atau perselingkuhan, sudah bisa saja terjadi. “Menurut saya Ini kembali ke faktor diri pelaku itu sendiri,” katanya.
Dia mebambahkan, hanya memang karakter media sosial yang bisa menjangkau koneksivitas di antara pengguna melampaui waktu dan jarak. Ini yang mendukung bertemunya kembali orang-orang yang selama ini terpisah. Mulai dari teman di sekolah dasar, di bangku kuliah, di organisasi, sampai pada mereka yang dahulu memiliki hubungan khusus.
Rulli juga melihat, jika ditinjau dari aspek psikologi sosial, bahwa intensitas yang digunakan untuk berkomunikasi melalui media sosial bisa semakin merekatkan hubungan. Bisa saja media sosial dipakai atau lebih tepatnya disalahgunakan untuk perselingkungan dan sebagainya.
“Bagi saya, media sosial itu bisa memunculkan tindakan-tindakan yang tidak hanya perselingkungan, menyebabkan perceraian, semata melainkan tindak kriminal dan sebagainya,” katanya.
Untuk diketahui, tingkat kecemburuan pasangan di Sosmed sangat berpotensi membuat hubungan rumah tangga retak hingga berujung pada perceraian.
Wakil Ketua DPRD Riau, Noviwaldy Jusman, hanya bisa terkejut ketika disodorkan data kasus perceraian sangat tinggi di Riau. “Maak oiiiii… Ini bagian sulit menjawabnya nih,” tulis Noviwaldy Jusman melalui aplikasi WhatsApp ke bertuahpos.com.
Psikolog dan juga menjabat sebagai Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Riau (UIR), Yanwar Arief, angkat bicara terkait tingginya angka perceraian di Kota Pekanbaru. Seperti yang diterangkannya kepada bertuahpos.com, Selasa 27 Maret 2018, perceraian tidak akan terjadi jika pasangan yang menikah paham akan arti tujuan pernikahan. “Kunci utamanya ialah paham tujuan pernikahan ataupun tujuan berkeluarga,” ujar Yanwar.
Yanwar menjelaskan, adapun tunjuan dari pernikahan ataupun berkeluarga ialah menyatukan perbedaan. “Tujuan pernikahan ialah menyatukan segala perbedaan, bukan memisahkan. Baik perbedaan jenis, perbedaan etnis, perbedaan sifat dan lainnya. Tujuan menikah menyatukan hal yang berbeda untuk hal yang sama yakni kebahagian,” jelas Yanwar.
Yanwar menambahkan, apabila pasangan memahami arti dari sebuah tujuan pernikahan. Maka tidak akan terjadi perpisahan ataupun perceraian. “Ketika ada hal yang menggangu hubungan maka kembali ke prinsipnya yakni menyatukan,” terangnya. (bpc3)
Ikuti terus liputan khusus edisi akhir pekan dengan mengunjungi website bertuahpos.com.Â