BERTUAHPOS.COM – Sebagai bentuk efisiensi pemerintah melakukan pemangkasan anggaran tahun 2025 di kementrian lembaga (K/L) maupun pemerintah daerah. Satu sisi kebijakan ini patut diapresiasi sebagai upaya memperbaiki tata kelola keuangan negara. Namun disisi yang lain strategi pelaksanaan kebijakan ini perlu ditinjau kembali karena merugikan Daerah.
Melalui Instruksi Presiden (Inpres) No 1 tahun 2025, Presiden Prabowo menginstruksikan melakukan efisiensi belanja negara mencapai Rp. 306,6 Triliun. Terdiri dari belanja kementrian / lembaga Rp. 256,1 Triliun dan tranfer ke daerah dan dana desa Rp. 50,5 Triliun. Selain itu INPRES juga menyasar kepada pemerintah daerah untuk melakukan efisiensi belanja daerah.
Salah satu yang menjadi target sasaran efisiensi Dana Transfer Daerah adalah pemangkasan kurang Bayar Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak maupun Bukan Pajak (DBH SDA). Pemerintah memangkas alokasi kurang bayar DBH menjadi Rp. 13,9 T, atau 50% dari pagu yang ditetapkan sebelumnya dalam Perpres 201 tahun 2024 sebesar Rp. 27,8 Triliun. Ini adalah jenis TKD ini yang paling besar dipangkas secara rasio dibandingkan TKD lainnya.
Pemangkasan TKD kurang bayar DBH dengan alasan efisiensi bukan kebijakan yang tepat, bahkan sangat merugikan daerah penghasil pajak maupun bukan pajak yang relatif tinggi di Indonesia. Ini juga menunjukkan pemerintah pusat lebih mementingkan belanja pemerintah pusat dari pada menyalurkan yang menjadi hak daerah. Pemerintah juga tidak menjelaskan secara gamblang dan transparans penggunaan realokasi dari pemangkasan hak pemerintah daerah tersebut.
Penetapan alokasi kurang bayar DBH berdasarkan APBN dan Perpres 201 tahun 2024 sebesar Rp. 27,8 Triliun sebenarnya juga belum 100% dari total kewajiban pusat untuk mentransfer kurang bayar DBH ke Daerah. Menteri Keuangan telah merilis kurang bayar DBH ke Daerah melalui PMK 89 tahun 2024, hingga tahun 2023 total kurang bayar DBH adalah sebesar Rp. 56,2 Triliun. Sedangkan lebih bayar DBH ke daerah sebesar Rp. 13,6 Triliun. Artinya hutang kurang bayar DBH rill pusat ke daerah adalah sebesar Rp. 42,5 Triliun. Jumlah ini belum dihitung kurang bayar tahun 2024, yang potensinya juga tidak sedikit.
Tahun 2024, pemerintah melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK) 44/2024 hanya mampu menyelesaikan kurang bayar DBH sebesar Rp. 13,2 Triliun atau hanya 31% dari total hutang kurang bayar DBH rill hingga tahun 2023. Sehingga masih menyisakan hutang DBH Pusat kedaerah mencapai Rp. 33,2 Triliun, belum termasuk perhitungan 2024.

Sementara kebijakan tahun 2025 dengan alasan efisiensi justru memperparah kerugian daerah atas hak yang mesti diterima. Khususnya penghasil pajak dan penghasil SDA Minyak dan Minerba terbesar. Seperti Provinsi dan Kabupaten di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sumatera selatan, Kalimantan tengan, DKI Jakarta dan provinsi Riau. 87% dari total hutang kurang bayar DBH terdapat di 6 daerah tersebut, selebihnya ada diseluruh provinsi lainnya.
Kebijakan pemangkasan penyaluran kurang bayar DBH mestinya dipertimbangkan ulang. Bagi daerah tentunya punya hak untuk menolak kebijakan ini. Karena berpotensi akan mengganggu pembiayaan pembangunan di daerah. Beberapa hal yang mendasari mengapa perlu untuk mempertimbangkan ulang kebijakan ini.
Dalam kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD), secara prinsip DBH sangat berbeda dengan jenis dana transfer lainnya seperti Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Insentif Daerah (DID) dan DBH lainnya. DBH pajak dan bukan pajak adalah mandat pemerintah pusat yang harus diberikan kepada pemerintah daerah sebagai konskuensi desentralisasi dan otonomi daerah. Mekanisme DBH tidak diberikan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara, melainkan bagian daerah atas dasar perhitungan penerimaan negara yang dihasilkan didaerah yang telah ditetapkan proporsinya atas kesepakan politik otomoni yang ditetapkan melalui UU HKPD. Oleh karenanya sesungguhnya tidak ada istilah menunda penyaluran jika pendapatan negara dari sektor-sektor yang dibagi hasilkan tersebut telah diterima oleh negara, kecuali situasinya darurat. Berbeda dengan DAU, DAK dan jenis lainnya yang mempertimbangkan kemampuan keuangan negara untuk memberikan kepada daerah.
Alasan lainnya ketidak tepatan kebijakan ini adalah ketidak jelasan penggunaan dari pemangkasan kurang bayar DBH. Meskipun secara umum, hasil pemangkasan kurang bayar dicadangkan untuk membiayai prioritas pemerintah, namun tidak jelas tujuannya kongkritnya. Justru seakan-akan pemerintah cenderung membelanjakan yang menjadi hak bagian daerah untuk membiayai belanja pemerintah pusat yang beroreintasi pada program populis. Ada standar ganda pemerintah di era saat ini, satu sisi melakukan efisiensi namun disisi lain justru struktur pemerintahan semakin gemuk yang mengakibatkan boros anggaran.
Perihal pemangkasan kurang bayar tidak diikuti dengan penjelasan waktu penyalurannya. Situasi ini menyebabkan ketidak pastian, juga menyebabkan tidak stabilnya keuangan daerah. Sebagian besar daerah saat ini menganggantungkan pembiayaan pembangunan dari dana transfer. Ketidak pastian penyaluran DBH yang menjadi hak daerah yang digunakan untuk membiaya program pembangunan. Salah satunya saat ini terjadi peristiwa tunda bayar atas kegiatan pemerintah daerah yang telah selesai dikerjakan, yang menyebabkan kerugian kepada masyarakat.
Kebijakan efisiensi melalui pengetatan belanja pusat dan daerah memang sangat diperlukan untuk memperbaiki tata kelola keuangan negara. Akan tetapi perlu strategi yang tepat dengan tanpa mengabaikan ketentuan perundangan dan mengurangi hak-hak pemerintah daerah. Efisiensi seyognya fokus pada pengeluaran pemerintah daerah dnegan melakukan kontrol keuangan yang ketat sejak perencanaan, sehingga tidak anggaran yang dibelanjakan yang tidak berdampak terhadap ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dan sejalan dengan tujuan pembangunan secara nasional. Kebijakan efisiensi belanja juga seyogyanya dikuti dengan strategi meningkatkan target pendapatan nasional dari sektor – sektor yang selama ini masih mengalami kebocoran.***
Penulis: Triono Hadi, M.Sos | Pengamat Kebijakan Anggaran. Jabatan saat ini Dewan Nasional Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra).