BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Kabupaten Siak merupakan salah satu daerah di Riau dengan produksi gabah cukup tinggi. Namun sayangnya hasil panen gabah itu tidak diproduksi lokal untuk dijadikan beras, tapi dijual ke tengkulak dan dibawa ke luar Riau.
“Iya, kami jual gabah ke tengkulak Medan,” kata Sugeng, seorang petani di kawasan Bunga Raya, Kabupaten Siak, Selasa 20 Maret 2018.
Alasan sugeng menjual hasil panen gabahnya ke tengkulak asal Medan tentu saja ihwal harga yang lebih tinggi. Sebab Bulog tidak berani mengambil harga di atas harga yang ditawarkan oleh tengkulak dari Medan itu.
“Beberapa kali kalau saya pernah jual ke Bulog tapi harganya sangat jauh. Bahkan tidak menutup modal. Kalau ke tengkulak harganya lebih tinggi dan petani bisa untung,” katanya.
Sama dengan Sumiato salah seorang petani di Siak saat diwawancarai bertuahpos.com, awal tahun 2018 lalu dia mengatakan bahkan sebagian besar petani memilih jual hasil panen gabahnya ke tengkulak ketimbang ke Bulog.
“Hasil panen petani disini jualnya ke Tengkulak, walaupun ada yang ke Bulog itu jarang, kebanyakan ya di Tengkulak,” ujar Sumianto.
“Kalau dijual ke Bulog harganya lebih murah dibanding ke Tengkulak, perbedaannya cukup tinggi,” sebutnya.
Meskipun di Kecamatan Bunga Raya tersedia kantor Bulog, namun para petani memilih menjual hasil panennya pada tengkulak yang ada di Sumatra Utara.Â
Sukri, bapak 2 anak ini punya setengah hektare sawah ini, juga menjual hasil padinya ke tengkulak ketimbang bulog, “Kalo dijual ke bulog harganya enggak sebanding, bulog cuma berani kasih harga Rp 3.700, sedangkan tengkulak Rp 3.900 sampai Rp 4.500,”katanya.
Baca:Â Riau Butuh 711 Ribu Ton Beras Setahun
Pendapatan petani sawah jika dihitung dengan masa panen, artinya 6 sekali. Jika harus menjual ke bulog maka penghasilan didapatnya tak cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Sedangkan untuk membeli modal pada penanaman padi, dirinya harus dengan bijak menyisakan uang hasil panennya. Selain itu harga beras yang tidak menentu pun menjadi pertimbangan para petani memilih menjual ketengkulak.Â
“Harga beras juga kan naik turun, sedangkan bulog di saat harga beras naik dia tetap kasih harga rendah, berani kasih harga hanya Rp 4.500, otomatis kami pilih menjualnya ke tengkulak,” tukas Sukri.
Di tahun 2016, Bupati Kabupaten Siak, Syamsuar mengaku cukup dipusingkan dengan kondisi petani padi di kabupaten itu, yang menjual hasil panen gabah basahnya ke tengkulak asal Medan. Menurut dia, kondisi seperti ini sudah berlangsung sejak lama.
Pemerintah Kabupaten Siak tidak bisa berbuat banyak, sebab menyangkut masalah pendapatan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangganya.
“Kami selaku pemerintah sudah melakukan upaya untuk peningkatan produksi beras dalam rangka menuju arah swasembada beras. Tapi kondisinya harga beras malah makin mahal,” katanya, di sela-sela kehadirannya dalam High Level Meeting di Bank Indonesia Kantor Perwakilan Riau, ketika itu.
Dia menambahkan, selama ini Pemerintah Provinsi Riau dan Bank Indonesia terus mendendangkan beberapa harga komoditi sembako di pasaran sulit untuk dikendalikan. Namun demikian, ada hal lain yang menurut dia bisa menjadi fokus untuk memperbaiki harga salah satu komoditi itu. Terutama dengan mengupayakan agar hasil panen gabah basah di Siak tidak keluar dari Riau.
Di Siak sendiri ada tiga kecamatan yang kini menjadi sentra penghasil padi dengan produksi yang cukup besar. Diantaranya Kecamatan Bunga Raya, Kecamatan Mandau, Sebau dan Sungai Apit.
“Beras kami lagi gencar meningkatkan produksi. Tapi yang terjadi di Siak ini apabila masuk musim panen mulailah masuk tengkulak dari daerah lain,” tambahnya.
Hingga saat ini, belum ada pedagang atau pengusaha dari Kabupaten Siak dan Pekanbaru yang sanggup melirik potensi untuk menampung gabah basah dari Siak ini. Mengingat jika hasil panen itu bisa diserap lokal, kemungkinan besar untuk mengatasi masalah beras di Riau tidak sesulit ini.
Syamsuar juga menyebut, animo masyarakat untuk beralih dari sawit ke ladang beras di kabupaten itu cukup tinggi. Hingga saat ini masih ada masyarakat yang berupaya untuk membuka ladang sawah baru sebagai langkah untuk menjaga perekonomian keluarga.
Pemerintah Kabupaten Siak mengaku sudah pernah mengajukan usulan ke pemerintah pusat untuk melakukan penambahan luas ladang sawah di Siak sebesar 1,5 hektare. Dia meminta pemerintah provinsi Riau dan TPID juga memikirkan masalah tersebut dalam rangka melakukan pengendalian harga terhadap beras.
“Gabah itu mereka beli, kemudian diolah dan mereka jual lagi ke Riau. Kenapa tidak Pengusaha di Riau saja yang lakukan itu. Kami juga sudah tawarkan ke Bulog, tapi mereka tidak bisa. Saya harap TPID dan pemerintah Provinsi Riau punya solusi untuk mengatasi masalah ini,” tambahnya.
Syamsuar juga berani menjamin bahwa kebutuhan beras di Riau Mampu mencukupi jika hasil panen dari masyarakat bisa betul-betul terkelola secara baik, jika tidak ada permainan para tengkulak. Namun demikian hingga saat ini belum ada langkah pasti yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Riau untuk mengatasi masalah tersebut.
“Kalau kami tidak bisa berbuat banyak. Petani buruh makan. Mereka tentu mau jual dengan harga yang lebih tinggi. Tengkulak-tengkulak itulah yang bisa beri harga tinggi,” tambahnya. (bpc3)Â