BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Sampai tahun 2021 akan ada sebanyak 29 blok eksploitasi perminyakan di Indonesia akan habis masa kontraknya. Tiga diantara blok tersebut berada di Provinsi Riau, yaitu: Blok Siak, Blok Rokan, dan Blok Selat Panjang Petroselat. Sebenarnya Blok Siak telah habis kontraknya pada 27 November 2013 yang lalu. Sedangkan dua blok lagi, yakni Blok Rokan dan Blok Selat Panjang Petroselat kontraknya akan berakhir pada tahun 2021.
Begitulah yang ditulis oleh Dr. Nurpit Junus, MM, Dosen Pasca Sarjana Universitas Riau dalam sebuah atrikel yang dia tulis. Tulisannya ini pernah di mudat di halaman opini media cetak Haluan Riau pada 03 Januari 2017 lalu, dengan Judul: Kembalilah Blok Rokan.
Nurpin bercerita banyak tentang Blok Rokan. Dia mengawali tulisannya itu dengan penegasan kata “kembalilah†sebagai bentuk penekanan. Kata dia, Kembalilah Blok Rokan, adalah suatu judul yang menegaskan agar Blok Rokan kembali, dan menjawab kepada siapa yang mengembalikan, dan kepada siapa Blok Rokan dikembalikan,
“Jawabannya adalah yang menguasai Blok Rokan hari ini, yakni PT. Chevron Pacific Indonesia (Chevron) dan dikembalikan kepada Ibu Pertiwi, yakni Negara Republik Indonesia,†tulisnya dalam artikel itu.
“Sudah saatnya kita harus mengusahakan minyak kita yang dikelola oleh bangsa sendiri, dari hulu sampai hilirnya. Kita sudah sanggup dan mampu untuk mengusahan perminyakan kita. Momen yang tepat untuk mengangkat isu ini kepermukaan sehubungan dengan akan berakhirnya kontrak penguasaan Blok Rokan pada tahun 2021.â€
Nurpin bercerita, dalam sejarah industri perminyakan nasional tercatat bahwa penguasaan Blok Rokan terutama ladang minyak Minas oleh asing jauh sebelum Indonesia merdeka, yakni berawal pada tahun 1924. Pada waktu itu, Standar Oil Company of California (Socal) mengirimkan seorang ahli geologinya yang bernama Richard N. Nelson ke Sumatera Tengah untuk melakukan penelitian. Kemudian pada tahun 1938, seorang ahli geologi dari Amerika yang bernama Walter E. Nygrem ditugaskan untuk mempelajari daerah di sekitar pohon Minei, yang hari ini disebut Minas. Penelitian Nygrem menyimpulkan kemungkinan adanya cekungan minyak di daerah tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih komprehensif dengan cara melakukan pengeboran.Â
Menindaklanjuti hasil penelitian Nygrem tersebut, pada tahun 1939 diutus seorang ahli geologi lainnya yang bernama Richard H. Hopper dengan tugas utamanya melakukan pengeboran. Hopper melakukan pengeboran dengan bor tangan counterflash yang mampu menembus kedalaman 1500 kaki, atau sekitar 450 meter. Hasil pengeboran ini memperkuat hasil penelitian Nygrem sebelumnya. Kemudian dilanjutkan dengan pemetaan seismik pada tahun 1940 yang menunjukkan adanya suatu anticline atau cembung yang sangat besar dan berlipat-lipat yang sangat ideal bagi akumulasi minyak. James P. Fox, ahli geologi Caltex yang berkantor di Medan memberikan arahan agar melakukan pengeboran percobaan sumur No. 1 yang berlokasi pada titik tertinggi di peta cembung tersebut. Sayangnya, implementasi dari perencanaan pengeboran ini tidak dapat dieksekusi karena pecahnya perang dunia kedua.
Tentara Jepang dengan sigap dan cepat bergerak ke kawasan Asia Tenggara, mendarat di Malaya (kini bernama Malaysia), Filipina dan Indonesia. Begitu sampai di Indonesia, tentara Jepang sangat sensitif terhadap industri strategis seperti pertambangan minyak di Minas ini. Tentara Jepang memerintahkan pegawai Caltex meninggalkan Minas serta lapangan Duri dan Sebanga yang sudah mulai juga di eksplorasi.
GN de Laive seorang sarjana teknik perminyakan Caltex ditangkap oleh Jepang dan ditahan di rumah tahanan Pekanbaru. Walaupun demikian, ternyata Jepang juga tertarik untuk melanjutkan pengeboran sumur Nomor satu di Minas tersebut.Â
Proses pengeboran dilanjutkan di bawah pimpinan Toru Oki, ahli geologi dari perusahaan Japan Petroleum Exploration Company (Japex). Pengeboran lanjutan yang dilakukan oleh Toru Oki ini berhasil menyemburkan minyak ke permukaan bumi. Tetapi juga ada versi lain yang mengatakan bahwa Hopper yang pertama kali berhasil mengangkat minyak dari perut bumi Minas.
Setelah perjanjian Roem Royen pada tahun 1949, Caltex kembali lagi ke Minas dan melanjutkan pengeboran pada sumur Minas nomor 1. Pengeboran ini selesai pada tanggal 8 Februari 1950 dengan kedalaman 2650 kaki atau lebih kurang 800 meter.Â
Sumur yang menghasilkan 2000 barrel minyak sehari yang mengalir dari perut bumi melalui pipa yang berdiameter 1 inci, mulai di ekspor pada tahun 1952. Sejak itu Minas menjadi generator penghasil dollar.
“Kemudian diikuti oleh ladang minyak yang lainnya dalam Wilayah Kerja Blok Rokan, yaitu Duri dan Sebanga. Oleh karena itu tidak berlebihan jika ada orang yang mengatakan bahwa Blok Rokan adalah petro dollar,†ujarnya.
Perusahaan Asing yang Berganti nama
Perusahaan asing yang menguasai Blok Rokan sering berganti nama dengan berbagai alasan, baik karena merger maupun akusisi. Pertama kali pada tahun 1924, perusahaan yang menguasai Blok Rokan ini bernama N.V. Nederlandsche Pacific Petroleum Maatschappij atau NPPM. Perusahan ini merupakan patungan yang didirikan oleh Standard Oil Company of California (Socal) dan Texas Oil Company (Texaco).
Di awal tahun 1950, NPPM berubah nama menjadi Caltex Pacific Oil Company (CPOC). Perusahaan ini berubah nama lagi menjadi Caltex Pacific Company (CPC) pada tahun 1960-an. Sepuluh tahun setelah itu, perusahaan ini berganti nama lagi menjadi PT. Caltex Pacific Indonesia (CPI).
Pada bulan Mei 2005 Chevron Texaco, induk dari perusahan PT. Caltex Pacific Indonesia ini berganti nama menjadi Chevron Corporation. Hal ini juga berdampak kepada anak perusahaannya di Indonesia, sehingga CPI berubah nama menjadi PT. Chevron Pacific Indonesia, tetapi singkatannya tetap CPI.
Ada catatan yang menarik dari penguasaan Blok Rokan ini oleh asing. Pada tahun 1960 pemerintah menerapkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1960. Berdasarkan undang-undang tersebut ditetapkan bahwa semua kegiatan penambangan minyak dan gas bumi di Indonesia hanya dilakukan oleh Perusahaan Minyak Negara (Pertamina).
“Setahun sebelum itu, yakni pada tahun 1949-1950 pemerintah menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing penghasil minyak di Indonesia. Mengapa perusahaan asing yang menguasai Blok Rokan ini tidak tersentuh oleh kedua peraturan tersebut? Sakti memang!†tulisnya.
Legalitas penguasaan Blok Rokan oleh asing pertama kali diberikan kepada Socal pada tahun 1936 oleh pemerintah Hindia Belanda. Konsesi yang populer dengan nama “Kontrak 5A†tersebut adalah untuk kegiatan penambangan minyak di daerah Sumatera Tengah.
Kemudian pada 28 Agustus 1983, kontrak Blok Rokan diperpanjang dengan bentuk kontrak yang berbeda dengan sebelumnya. Dari Kontrak Karya menjadi Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) sampai tanggal 8 Agustus 2001. Kemudian diperpanjang lagi selama 20 tahun, dan akan berakhir pada tahun 2021.
Dari aspek geografis, ladang minyak yang terdapat di Blok Rokan tersebut berada pada beberapa daerah otonom di Provinsi Riau. Diantaranya, ladang minyak Minas berada di Kabupaten Siak; ladang minyak Duri dan Sebanga berada di Kabupaten Bengkalis; ladang minyak Bangko, Balam dan Benggala berada di Kabupaten Rokan Hilir; ladang minyak Petani dan Pematang berada di Kabupaten Rokan Hulu; dan ada beberapa sumur minyak yang berada di Kabupaten Kampar.
Mengacuh pada Peraturan Pemerintah N0. 30 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, jangka waktu kontrak kerja sama paling lama 30 tahun dengan batas waktu eksplorasi selama 6 tahun. Terkait dengan perpanjangan kontrak, masa kontrak bisa diperpanjang selama 20 tahun untuk setiap kali perpanjangan. Ini merupakan pintu masuk bagi Chevron untuk meminta perpanjangan kontrak. Walaupun demikian, kecenderungan sejak Era Reformasi dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, jo Undang-Undang Nomor. 34 tahun 2004 tentang Perubahan pada Undang-Undang Nomor. 22 tahun 1999, daerah kabupaten/kota dan provinsi dimana blok tersebut berada dilibatkan dalam pengelolaan blok tersebut.
Hal ini dapat dilihat pada Blok CPP di Kabupaten Siak dan Blok Langgak di Kabupaten Kampar dan Rokan Hulu. Diakui, untuk daerah bisa dilibatkan dalam eksploitasi perminyakan di blok tersebut memerlukan perjuangan yang spetakuler. Pemerintah pusat dalam hal ini Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) selalu mempertanyakan kesiapan daerah dalam beberapa aspek klasik, yakni: Sumber Daya Manusia, Sumber Daya Finansial, dan Sumber Daya Teknologi.
Sangatlah naif jika ada anak bangsa ini tidak ikut menumbuh-kembangkan perusahaan nasional dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Pikiran-pikiran yang masih terbelenggu oleh pesona asing yang lebih hebat dan mengerdilkan kemampuan bangsa sendiri harus dihapuskan. Sektor migas harus dimerdekakan.
Bangsa ini harus cepat dibangunkan dari mimpi yang menina-bobokan. Marilah bangun dan bersama untuk berjuang demi kemajuan bangsa dan negara ini. Pemikiran seperti ini harus ada dalam diri pembuat keputusan di republik ini sebagai bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan memperpanjang atau mengembalikan. Bagi kami sudah jelas, “Kembalilah Blok Rokan!†(bpc3/arsip)
Ikuti terus liputan khusus bertuahpos.com edisi akhir pekan