BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Indonesia tidak termasuk dalam 50 besar negara dengan tingkat kemudahan berbisnis. Berdasarkan hasil riset terbaru yang dikeluarkan oleh Lifepal.co.id, hingga saat ini indeks kemudahan berbisnis di Indonesia masih mandek di urutan 73 di dunia dan peringkat 6 di ASEAN.
Namun, jumlah investasi asing atau Foreign Direct Investment (FDI) ke Indonesia, yang secara tidak langsung dipengaruhi Indeks Kemudahan Berbisnis, adalah yang terbesar nomor dua di ASEAN. Hasil riset itu menemukan fakta bahwa peringkat Indeks Kemudahan Berbisnis sebuah negara tak selalu mempengaruhi besarnya Foreign Direct Investasi ke negara tersebut.
Indeks Kemudahan Berbisnis atau Ease of Doing Business adalah suatu indeks yang dibuat oleh Bank Dunia. Peringkat yang tinggi menunjukkan peraturan untuk berbisnis yang lebih baik (biasanya yang lebih sederhana), dan kuatnya perlindungan atas hak milik.
“Penelitian empiris yang didanai oleh Bank Dunia untuk membuktikan manfaat dari dibuatnya indeks ini, menunjukkan bahwa efek dari perbaikan berbagai peraturan terhadap pertumbuhan ekonomi sangatlah besar,” berdasarkan kesetrangan resmi yang diterima di email Bertuahpos.com, pada 6 Okterber 2020 lalu.
Ada 10 (sepuluh) indikator untuk mengukur kemudahan berbisnis atau yang juga dikenal dengan istilah Ease of Doing Business. Diantaranya, pengurusan berbagai perizinan yang perlu dilakukan untuk memulai usaha. Lalu izin mendirikan bangunan untuk kegiatan usaha. Kemudian pendaftaran tanah sebagai kepastian dan perlindungan hukum pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain.
Indikator lainnya, yakni pembayaran dan jumlah pajak kepada perusahaan sesuai aturan perpajakan yang berlaku, hak legal peminjam dan pemberi pinjaman terkait dengan transaksi yang dijamin dan kedalaman informasi kredit, biaya dan waktu dalam penyelesaian perselisihan perdagangan dan kualitas proses hukum.
Selain itu, perihal prosedur, waktu dan biaya dalam memperoleh koneksi jaringan listrik, pengadaan listrik yang baik, dan biaya konsumsi listrik juga masuk dalam indikator ini. Termasuk kemudahan dalam mengekspor barang dari perusahaan yang memiliki keunggulan komparatif dan impor suku cadang, kemudahan dalam tingkat pemulihan dalam hal kebangkrutan komersial dan kekuatan kerangka hukum kepailitan, dan perlindungan bagi pemegang saham minoritas di suatu negara.
Kesimpulan dari riset ini, untuk tetap dapat mendorong agar bisnis yang mengalami kesulitan keuangan dapat tetap bertahan, maka negara harus menyediakan ketentuan kebangkrutan atau kepailitan yang efisien dengan proses cepat dan berbiaya murah.
“Ketentuan kepailitan harus memberikan perlindungan atas hak-hak kreditur dan debitur secara seimbang. Proses kepailitan juga dapat meningkatkan harapan nilai pengembalian yang wajar bagi kreditur dan debitur. Dan yang terpenting adalah untuk menyelamatkan bisnis yang masih memiliki harapan untuk hidup, yang pada akhirnya akan mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi nasional,” tulisnya.
Hingga saat ini, di antara negara negara ASEAN, Singapura-lah yang menjadi juaranya. Singapura tercatat berada pada peringkat 2 di dunia atau peringkat 1 di ASEAN pada tahun 2019, sedangkan Indonesia tercatat pada peringkat 73 di dunia atau peringkat 6 di ASEAN. Sedangkan peringkat terakhir di ASEAN ditempati oleh Laos. Laos konsisten dari tahun 2010 sampai 2019 selalu menempati peringkat terakhir.
Indonesia juga mengalami kenaikan peringkat dari 2010 sampai 2019. Di tahun 2010, Indonesia berada di peringkat 126, tapi di 2019 sekarang indonesia berada di peringkat 73.
Riset Bank Dunia menyebutkan, perusahaan yang beroperasi di negara berkembang kesulitan membayar upah minimum karena rasionya terlalu tinggi jika dibandingkan dengan median laba yang dibukukannya. Hal serupa tidak terjadi di negara maju. Ini bisa menjadi alasan bahwa peringkat ease of doing business negara-negara berekembang di ASEAN cenderung stagnan. (bpc2)