BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU– Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Pekanbaru mencatat bahwa Rumah Sakit yang beroperasi di Ibu Kota Provinsi Riau tersebut belum optimal dalam menangani limbah bahan beracun berbahaya (B3). Dan juga banyak yang tidak memberikan laporannya ke BLH Pekanbaru.
Seperti yang disampaikan Kepala BLH Pekanbaru, Zulfikri melalui Kepala Bidang AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan), Suandhi kepada kru bertuahpos.com. “Selain Eka Hospital dan Santa Maria, rumah sakit lainnya untuk implementasi penanganan limbah yang mengandung B3 (bahan beracun berbahaya) masih belum baik,†katanya di ruang kerja, Senin (18/01/2016).
Hal ini sangat disayangkan Suandhi. Dirinya mengaku BLH Kota Pekanbaru selalu melakukan sosialisasi ke seluruh Rumah sakit, Rumah Bersalin dan jasa – jasa kesehatan yang ada di Pekanbaru tentang pengelolaan lingkungan. “Yang sering kita libatkan pihak hotel dan restoran, rumah sakit, serta bengkel. Karena kita menilai ada banyak B3 yang penanganannya harus dioptimalkan,†katanya.
Suandhi menuturkan memang hampir seluruh Rumah Sakit sudah memiliki dokumen yang lengkap seperti punya Intalansi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) tetapi belum bekerja secara optimal. “Seperti ada insenerator, tetapi saat kita lakukan pemantauan limbah padat yang seharusnya dibakar menjadi abu ternyata masih ada nampak jenisnya seperti botol kaca. Seharusnya kan sudah jadi abu,†paparnya.
Belum lagi petugas yang menangani limbah tersebut, kata Suandhi kebanyakan merangkap. “Jadi operatornya harus yang bersertifikasi, dan tidak merangkap,†katanya.
Selain itu dirinya mengatakan rumah sakit atau rumah bersalin di Pekanbaru banyak tidak melaporkan penanganan limbahnya kepada BLH. Padahal semestinya pelaporan dilakukan sekali dalam enam bulan.
Sehingga pihak BLH dapat memberikan masukan terkait pengelolaan limbah B3. “Yang rutin menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan hanya beberapa saja seperti Eka Hospital atau Santa Maria mereka komit. Sedangkan yang lain belum,†katanya.
Â
Selain IPAL, pihak rumah sakit juga harus punya Upaya Pengelolaan Lingkunga (UPL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL) serta Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). “Kalau alasannya membutuhkan biaya seharusnya bukan jadi alasan. Karena saat akan berinvestasi seharusnya sudah diperhitungkan biaya yang diperlukan untuk penanganan limbah dan lingkungan. Karena ini menyangkut kepentingan publik,†sebutnya.
Menurut WHO, beberapa jenis limbah rumah sakit dapat membawa risiko yang lebih besar terhadap kesehatan, yaitu limbah infeksius (15% s/d 25%) dari jumlah limbah rumah sakit. Diantara limbah¬limbah ini adalah limbah benda tajam (1%), limbah bagian tubuh (1%), limbah obat-obatan dan kimiawi (3%), limbah radioaktif dan racun atau termometer rusak (< 1%).
Pada dasarnya limbah rumah sakit adalah semua limbah yang dihasilkan oleh kegiatan rumah sakit dan kegiatan penunjang lainnya. Limbah rumah sakit dapat berbentuk padat, cair, dan gas yang dihasilkan dari kegiatan diagnosis pasien, pencegahan penyakit, perawatan, penelitian, imunisasi terhadap manusia dan laboratorium yang mana dapat dibedakan antara limbah medis maupun non medis yang merupakan sumber bahaya bagi kesehatan manusia maupun penyebaran penyakit di lingkungan masyarakat. (Riki)