Pekan ini, Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Provinsi Riau melangsungkan pembahasan usulan Rancangan Perda tentang Penyelenggaraan Madrasah Diniyah Takmiliyah Awaliyah (MDTA) bersama dinas dan pihak terkait.
Pengajuan Ranperda yang diinisiasi Komisi 5 tersebut berangkat dari fakta bahwa pendidikan MDTA aset penting di sektor pendidikan.
Kendati berstatus nonformal, madrasah mengambil bagian dalam upaya merealisasikan cita-cita nasional sebagaimana tercantum pada UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan.
Diantaranya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 (UU no 20/2003) tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang menyatakan bahwa ada 3 (tiga) jalur pendidikan yang diakui negara: formal, nonformal dan informal.
Ketiga jalur tadi satu kesatuan yang saling melengkapi. Keberadaan pendidikan diniyah nonformal juga telah memberi kontribusi sangat besar dalam perjalanan bangsa.
Bukan hanya di masa pembangunan paska kemerdekaan. Rekam jejak bisa ditengok jauh ke belakang. Madrasah berhasil mengeluarkan manusia bangsa dari jurang diskriminasi pendidikan.
Melahirkan generasi pejuang yang tidak hanya melawan secara fisik tetapi juga lewat pemikiran.
Para tokoh pendiri bangsa beragama Islam mayoritas pernah mengenyam pendidikan di madrasah.
Namun sayangnya MDTA selama ini dimaknai sebatas pendidikan pengganti, penambah atau pelengkap pendidikan formal. Mungkin ini penyebab bangsa kehilangan nilai dari eksistensi madrasah.
Padahal berkaca ke sisi historis, madrasah garda terdepan. Sekilas mengulas, kata madrasah berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat belajar.
Akar katanya “darasa” yang bermakna belajar. Menilik dari asal kata, pengertian madrasah “tempat belajar” secara umum. Tidak merujuk ke tempat tertentu.
Artinya bisa dilaksanakan di mana saja. Rumah, masjid/surau serta di tempat lain sesuai situasi dan kondisi. Di awal perkembangan Islam, umat belum memiliki tempat belajar seperti sekolah saat ini.
Saat itu, kegiatan proses belajar mengajar dilaksanakan di masjid. Zaman Rasulullah SAW, para sahabat menimba ilmu agama di Masjid Nabawi.
Dalam masjid terdapat suatu ruangan tempat belajar disebut suffah, sekaligus tempat menyantuni fakir miskin. Keadaan berlangsung hingga zaman Khulafa ar-Rasyidun dan Bani Umayah.
Madrasah berubah di era Dinasti Abbasiyah. Masa itu ilmu pengetahuan berkembang pesat. Kegiatan belajar mengajar dilaksanakan di perpustakaan, istana serta rumah para ulama dan tentunya masjid.
Kebanyakan masjid di masa keemasan Islam itu sudah dilengkapi dengan ruang belajar, ruang baca dan ruang perpustakaan. Para ulama dan sarjana mengajar dengan sistem “halaqah” (murid duduk bersila di sekeliling guru). Madrasah pertama kali berdiri sebagai lembaga pendidikan yang bentuk dan sistemnya mendekati saperti sekarang adalah Madrasah Nizamiyah di Baghdad.
Semenjak itu madrasah mulai masif di berbagai wilayah muslim. Pengetahuan yang diajarkan bukan semata agama, tetapi juga mentadaburi fenomena alam atau sederhananya pengetahuan umum.
Tak heran peradaban Islam kala itu banyak melahirkan “santri” sekaligus seorang ilmuwan.
Nusantara
Alur di Indonesia nyaris serupa. Berawal dari sikap diskriminatif sekolah-sekolah milik penjajah terhadap pribumi dan umat Islam, madrasah lalu diberdayakan untuk menandingi sekolah-sekolah milik Belanda.
Kendati di masa kolonial pendidikan Islam bersifat tradisional dan terbatas di pesantren dan masjid, namun berhasil menjadi tempat membentuk pola pikir dan karakter secara komprehensif.
Mengutip sejumlah sumber, madrasah pertama di Indonesia muncul tahun 1909 di Kota Padang, Sumatera Barat bernama Madrasah Abadiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad.
Satu hal menarik diangkat adalah bagaimana transformasi yang dibawa madrasah ke dunia pendidikan nusantara. Fungsinya perlahan menyesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan. Perkembangannya semakin tak terbendung setelah lahir organisasi-organisasi Islam.
Seperti Madrasah Shcoel pertama yang didirikan pada 1910 di Kota Batu Sangkar, Sumatera Barat oleh Syekh M. Talib Umar. Seiring waktu di tahun 1912 salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan mulai membangun sistem lembaga pendidikan yang menggabungkan pendidikan Islam dan umum.
Perlahan madrasah berkembang dari konsep tradisional ke arah progresif. Konsep ini persis seperti yang berkembang di masa emas kejayaan Islam.
Memadukan agama dan pengetahuan umum. Riau juga tak ketinggalan merintis kontribusi madrasah bagi pendidikan di tanah air.
Tepatnya di tahun 1917, Sultan Syarif Kasim II mendirikan sekolah yang diberi nama Madrasah Taufiqiyah Al-Hasyimiah.
Di tahun 1926, Permaisuri Tengku Agung juga mendirikan sekolah untuk kaum wanita diberi nama Latifah School.
Sekolah berformat madrasah tersebut turut mencetuskan kebangkitan pendidikan nasional. Meski pendidikan bercorak Islam, namun madrasah yang didirikan Sultan dan Permaisurinya menanamkan semangat kebangsaan, harga diri dan jiwa patriotisme.
Pemaparan di atas menggambarkan betapa sentral peran madrasah. Perlu merubah cara pandang terhadap madrasah dan memperlakukannya lebih baik lagi.
Apresiasi negara kepada madrasah dirasa sangat sepadan menimbang sumbangsih demikian besar.
Secara kebijakan, apresiasi dimaksud melalui penerbitan peraturan dan kebijakan. Sehingga ke depan ada kesadaran untuk memperhatikan madrasah secara moril dan materil serta melibatkannya secara terencana, terintegrasi dan berkesinambungan dalam agenda mewujudkan pendidikan berkarakter bagi generasi bangsa.
Ironisnya, tahun lalu sempat heboh sehubungan tidak ditemukannya frasa madrasah dalam pembahasan RUU Sisdiknas. Di draf RUU, pendidikan keagamaan hanya dibahas sebagai bagian dari jenis pendidikan.
Pentingnya perubahan paradigma dan pendekatan kebijakan sejalan dengan nilai penting madrasah diniyah dalam sistem pendidikan nasional, yang menurut Kementerian Agama Republik Indonesia antara lain: Pertama, peranan instrumental.
Maksudnya pendidikan madrasah diniyah alat mendukung dan mencapai tujuan Sisdiknas sehingga terbentuk hubungan dinamis atau kolaborasi antara tujuan pendidikan secara umum (nasional) dan keagamaan.
Kedua, peranan keagamaan yang mana tumbuh kembang berdasarkan motivasi agama, mengefektifkan penyiaran dan pengamalan ajaran Islam berupa pembinaan pengetahuan, sejalan tujuan pendidikan nasional membentuk manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME.
Ketiga, peranan pembinaan mental dan keterampilan. Madrasah diniyah tak hanya pengembangan pendidikan keagamaan tetapi juga membina karakter dan akhlak santri serta meningkatkan keterampilan.
Selaras tujuan pendidikan nasional yaitu menciptakan manusia berilmu, cakap kreatif serta mandiri.
Mengacu ke konsep Kemenag, prospek paling dinantikan adalah menjadikan madrasah sebagai garda terdepan pembentukan karakter. Apalagi di tengah kondisi dan tantangan nasional dan global yang menuntut daya saing dan kualitas SDM.
Dr. (H.C.) H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM.
Anggota Bapemberda Dan Komisi V DPRD Provinsi Riau