KESETARAAN antara perempuan dan laki-laki atau biasa disebut kesetaraan gender di Indonesia menjadi isu menarik dan hangat baik di media cetak maupun elektronik. Kenapa permasalahan ini begitu menarik? Salah satu tujuan dalam SDG’s (Sustainable Development Goals) diantaranya adalah adanya kesetaraan gender dan memberdayakan kaum perempuan dengan sasaran menghapuskan semua praktik berbahaya, seperti perkawinan usia anak, perkawinan dini dan paksa serta sunat perempuan.
Akan tetapi sampai hari ini fakta menunjukkan upaya penyetaraan gender di Indonesia masih harus melalui jalan terjal berupa persoalan kualitas kehidupan perempuan dimana perkawinan perempuan usia anak yang masih tinggi yaitu sebesar 11,2 persen, kondisi ini memiliki arti satu dari sembilan perempuan usia 20-24 tahun di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun.
Disamping kondisi di atas, pernikahan dini ternyata telah memupus harapan perempuan untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun paling banyak hanya menamatkan pendidikan SMP/sederajat atau 44,9 persen (Susenas BPS 2018).
Perkawinan perempuan usia anak yang terjadi di Indonesia mengakibatkan rendahnya tingkat pendidikan yang mereka peroleh. Kondisi ini telah menghapus kesempatan emas mereka untuk meningkatkan kualitas kehidupan mereka secara mandiri, memperkecil peluang perempuan untuk mampu setara dengan lelaki.
Kondisi ini belum ditambah dengan segudang problematika seperti sulitnya mereka terserap dalam pekerjaan formal sebagai akibat rendahnya tingkat pendidikan yang pada akhirnya mereka terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Dan yang lebih mengkhawatirkan adalah perkawinan perempuan usia anak sangat mengancam kesehatan perempuan dan anak. Kondisi anak yang dilahirkan bisa mengalami gizi buruk dan stunting serta rentan mengalami kematian ibu muda melahirkan (maternal mortality).
Tidak jauh berbeda dengan Indonesia, praktik pernikahan anak di seluruh dunia juga terjadi. Proporsi wanita muda yang menikah saat masih anak-anak mencapai 25 persen. Artinya satu dari lima perempuan muda di dunia menikah menikah saat masih anak-anak. Jumlah pengantin anak diperkirakan mencapai 650 juta, termasuk pengantin anak perempuan yang dibawah 18 tahun yang sudah menikah, dan wanita dewasa yang menikah pada masa kanak-kanak. Jumlah terbanyak terdapat di asia selatan diikuti sub sahara Afrika.
Perkawinan usia anak akan memiliki dampak dan ancaman kelangsungan suatu generasi. Seorang anak perempuan yang dinikahkan pada usia belia akan menghapus harapannya untuk melanjutkan pendidikanya. Kurangnya pengetahuan dan diperparah tingkat emosional yang belum stabil juga menambah mereka rawan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Mengkaji tingkat perkawinan perempuan anak di tingkat provinsi lebih membuat kita terperangah. Dalam perjalanannya, jika secara nasional angka perkawinan perempuan usia anak sebesar 11,2 persen, ternyata terdapat 20 provinsi di Indonesia yang angka perkawinan perempuan usia anak diatas angka nasional. Provinsi Sulawesi Barat merupakan provinsi dengan persentase perkawinan usia anak tertinggi yang mencapai 19,4 persen, disusul Kalimantan Tengah sebesar 19,1 persen. Sedangkan persentase perkawinan usia anak terendah dipegang oleh provinsi DKI Jakarta yang hanya sebesar 4,1 persen.
Tidak bisa dipungkiri, kondisi suatu wilayah, baik topografi, tingkat ekonomi, serta kebiasaan atau adat sangat berpengaruh terhadap masih tingginya perkawinan anak. Hal ini terlihat perkawinan usia anak di perdesaan lebih besar dua kali lipat dibanding perkotaan. Angka perkawinan anak di perdesaan mencapai 16,87 persen, sedangkan di perkotaan hanya 7,15 persen.
Disamping itu, perkawinan perempuan pada usia anak yang terjadi menyisakan problematika lanjutan yang harus dihadapi perempuan. Kondisi jiwa dan tingkat emosi yang belum stabil ditambah minimnya pengetahuan mereka tentang ilmu berumah tangga membuat mereka rentan mengalami konflik dan berujung pada perceraian. Bps mencatat, pada tahun 2018, perempuan yang menikah pada usia anak-anak ternyata mengalami perceraian hidup sebesar 5 persen.
Melihat fenomena di atas, pemerintah harus secara tegas memberlakukan undang-undang yang menaikkan ambang batas minimal usia menikah bagi perempuan. Pengawasan terhadap adanya upaya menaikkan umur perempuan saat mendaftarkan pernikahan juga harus dilakukan. Langkah pengawasan ini juga harus dibarengi dengan sanksi yang tegas bagi siapapun yang berupaya mendaftarkan umur perempuan yang tidak sebenarnya sehingga lolos dan mendapatkan izin untuk melakukan pernikahan.
Selain itu, upaya mengikis dan menghapus stigma dimasyarakat bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya hanya di dapur harus terus menerus dilakukan. Kondisi diatas harus dirubah pola berpikirnya bahwa menyekolahkan anak perempuan tinggi-tinggi adalah  keharusan agar perempuan memiliki pengetahuan dan kemampuan yang tidak kalah dengan lelaki.
Besar harapan kita, dengan menaikkan ambang batas usia menikah, setidaknya perempuan akan lebih memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dengan perempuan memiliki pengetahuan yang lebih tinggi, maka perempuan-perempuan indonesia akan mampu dan berkesempatan ikut bersaing serta memiliki peluang yang sama dengan lelaki dalam berbagai segi kehidupan. Dengan mereka mampu bersaing dan memiliki kemampua, maka kesetaraan gender perempuan dan lelaki di indonesia dapat segera tercapai. Semoga…
Mujiono, SE, Statistisi Ahli
Di Badan Pusat Satistik (BPS)
Provinsi Riau
(Foto: Bertuahpos/ISTIMEWA)
Â
Â