BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Tidak ada palu sidang atau meja hijau. Tidak ada berkas perkara atau hakim anggota. Yang ada hanya Suharyoto Sastro Suwinyo, seorang pria berambut gondrong sepunggung mengenakan kopiah hitam. Dialah pimpinan sidang dalam pengadilan budaya yang digelarnya sendiri itu, berlangsung di jalanan sore itu, Kamis (05/11/2015).
Pria berusia 46 tahun ini sedang menghakimi tiga orang terpidana yang terlibat dalam kasus korporasi, kerusakan keanekaragaman hayati, dan kasus asap di Riau. Dari selembar karton dia sulap menjadi reflika pejabat dengan jas hitam, dan berkopiah hitam. Reflika pertama ditunjuknya sebagai pemerintah pusat. Reflika patung kedua dikalungkan selembar kain batik di bagian lehernya. “Ini adalah pemimpin Pemerintah Riau,” katanya. Dan reflika ketiga adalah cukong atau korporasi pembakar dan perusah hutan Riau
Satu persatu dari tiga terdakwa itu di sidang dalam pengadilan budaya yang digelarnya. Pemerintah pusat divonis bersalah, karena telah membiarkan dan memberi izin kepada penjahat untuk merusak hutan Riau. “Masyarakat Riau menyatakan anda telah gagal menyelamatkan hutan Riau. Anda dinyatakan bersalah,” ujarnya.
Sementara Pemerintah Provinsi Riau juga divonis bersalah karena tidak berani bertindak tegas terhadap korporasi perusak lingkungan. Sedangkan cukong, juga dinyatakan bersalah karena telah melakukan suap kepada kedua lembaga pejabat pemerintahan itu.
Pengadilan budaya itu dipentaskan Suhryoto di depan puluhan mahasiswa dan msyarakat yang tergabung dalam barisan Fornt Rakyat Riau Bebas Asap atau FORBBA Riau. Sepetak di tengah Jalan Cut Nyak Dien antra kantor Gubernur Riau dan Puswil.
Pria Asal Jogja itu getol melawan asap di Riau, bahkan di tengah kondisi asap yang sudah reda. “Pemerintah jangan bangga. Ini bukan hasil kerja mereka. Ini atas dasar keinginan Allah SWT,” teriaknya.
Kepeduliannya teradap Riau tidak lepas dari sejarah hidupnya, yang sejak tahun 1983, sudah ikut bersama orang tua angkatnya di Kabupten Kampar. Dia tahu persis bagaimana orang tuanya membina masyarakat suku pedalaman. Pementasan seni yang ditampilkan satrwan dan penyair Riau Suharyoto itu, selalu memanfatkan tempat-tempat biasa, yang kemudian disulap menjadi nuansa istimewa serta menarik perhatian.
Selain tampil di jalan, dia pernah menjdikan pemerintasan syair dan puisi di pabrik batu bata Kecamtan Kulim, Pekanbaru Riau, dan di salah satu doorsmeer. Baginya, setiap orang punya jiwa seni, dan semua tempat bisa menjadi panggung.
Seperti pementasannya saat menjadi hakim ketua dalam sidang buaya yang diperagakan di samping kantor gubernur Riau itu. Dia bersama mahasiswa lainnya berteriak lantang menyuarakan pembelaan rakyat lewat syair-syairnya. Mulai dari persoalan politik, hukum, kejahtan lingkungan sampai kabut asap.
Aksi itu juga menuntut penegakan hukum terhadap perusahaan yang disinyalir membakar maupun terbakar terhadap lahan yang mereka kelola. Serta mengultimatumkan segera perusahan korporasi itu agar ditetapkan sebagai tersangka oleh aparan keamanan.
Massa aksi juga menuntut perusahaan yang mengelola gambut di atas kedalaman tiga meter agar keluar dari lahan tersebut. Serta menuntut agar pemerintah pusat dan pemerintah daerah membayar kompensasi kepada masyarakat Riau yang menjadi korban bencana asap.
***
Ada pemandangan tidak biasa pada saat Suharyoto melakukan pementasannya. Seorang pria muda mengenakan batik biru, dibalut celana berbahan dasar warna hitam dengan sepatu pantopel mengkilat, tiba-tiba saja mencakar-cakar aspal sambil jongkok. Dari mulutnya terdengar suara persis auman hrimau. Bahkan beberapa benda, seperti buku, tas dan kertas yang tergeletak di sekitarnya ikut terpental. Selintas suasana terasa hening, dan pandangan mata puluhan massa aksi, masyarakat, warga, wartawan dan aparat kepolisian, terpaku pada tingkah itu.
Namun sesaat kemudian, seorang pria setengah baya dengan rambut separuh memutih, membawa botol air mineral. Kemudian menuangkan air itu ke telapak tangannya, lalu mengusapkan ke muka pria itu. Dan perilakunya kembali normal seperti biasa. “Harimau Sumatrapun sekarang hanya tinggal nama,” ujar Suharyoto. (Melba)