Kami putra putri berbagi nasi berjanji, mempersatukan Indonesia dengan sebungkus nasi. Kami putra putri berbagi nasi mengaku berbangsa satu, bangsa yang mau berbagi. Kami putra putri berbagi nasi menjunjung bahasa persatuan, bahasa lapar.
BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Kalimat di atas bukan kalimat biasa, melainkan sebait sumpah yang selalu jadi pegangan anggota Komunitas Berbagi Nasi Pekanbaru. Mereka ini adalah Ari, Yuda dan 15 teman-temannya yang aktif membagi-bagi nasi, menyusuri jalanan Pekanbaru di malam hari.
Malam itu, belasan muda-mudi ini kembali mengucap ikrar di sebuah gerai es sederhana di Jalan Gatot Subroto, Kecamatan Gobah Pekabaru. Sementara itu di atas meja kayu di depan mereka, sudah ada 22 bungkus nasi dalam kantong plastik secara terpisah.
Malam itu mereka melakukan briefing menjelang memulai aktivitasnya. Usai menutup brefing dengan doa bersama, masing-masing dari mereka mengambil kantong plastik itu, dan berlalu dengan mengendarai sepeda motor.
“Ini episode ke 107,” kata Yuda, salah seorang anggota Komunitas Berbagi Nasi. Malam itu dia menjadi komando pasukan.
Gerombolan sepeda motor ini melaju beriringan secara konvoi menuju Jalan Setia Budhi dan berhenti di antara deretan ruko yang bejejer di pinggiran jalan.
Perhatian mereka tertuju pada seorang bocah berpakaian kumal yang tampak sedang tertidur pulas di teras sebuah ruko. Salah seorang dari mereka membagunkan bocah itu dan menyerahkan sebungkus nasi dan air minum. Tentu saja aktifitas ini mengundang perhatian masyarakat sekitar. Tapi bagi mereka, itu bukan lagi pemandangan aneh.
Target yang lain di malam itu adalah seorang pria yang sudah cukup berumur. Ia terlihat sedang duduk mencangkung di sebuah halte, Jalan Jenderal Sudirman ini mengenakan kopiah hitam pudar kekuning-kuningan, tubuhnya dibaluti kaos kerah warna kuning lusuh bercelana pendek.
Matanya lekat menatap iring-iringan sepeda motor saat merapat di dekatnya. Namanya Yanto. Dia termasuk salah satu ‘target’ pembagian nasi. Saat tim berbagi nasi mendekatinya, spontan ekpresi wajahnya sepertinya kebingungan, saat salah seorang anggota komunitas ini menyerahkan sebungkus nasi kepadanya.
“Untuk apa ini?” Katanya. “Untuk makan malam pak. Ada rezeki nasi bungkus buat bapak.” “Alhamdulillah, terimakasih banyak, Nak. Semoga berkah dandapat pahala,” tuturnya.
Inilah aktivitas rutin para ‘pejuang’ Komunitas Berbagi Nasi Pekanbaru. Sebuh perkumpulan anak-anak muda yang di gagas Ari dan delapan orang temannya.
Mereka biasa menyebut pasukan yang bergerak membagikan nasi sebagai ‘pejuang’. Sedangkan orang yang menerima nasi disebut ‘target’.
Di tengah pro dan kontra mengenai larangan memberikan bantuan bagi gelandangan dan pengemis. Serta maraknya aksi gelandangan dan pengemis profesional, komunitas ini punya cara sendiri untuk menentukan target.
Seperti dipaparkan Yuda, memang ada orang-orang yang berkedok sebagai pengemis untuk menacari nafkah. Bahkan penghasilan mereka lebih banyak dari orang yang punya penghasilan tetap.
Namun target mereka adalah orang yang tidur beralas bumi, beratap langit, atau mereka yang tidak memiliki tempat tinggal. Juga orang yang mengais rezeki hingga tengah malam. Seperti pemulung, loper koran, pengamen, satpam, petugas kebersihan, petugas SPBU atau tukang ojek.
“Saat menjalankan tugas, mungkin belum sempat makan, atau kelaparan tengah malam. Kalau mau takut lalai dengan tanggungjawabnya,” tambah Yuda.
Beragam pengalaman berharga bisa dijumpai para pejuang-pejuang nasi ini. Seperti dikisahkan Yuda, yang terhenyak sesaat ketika nasi bungkusnya ditolak oleh seorang pria tua yang tak sempurna fisiknya.
“Dia pria tua cacat fisik yang tinggal dalam sebuah gerobak di depan Pasar Cik Puan. Kalau tak salah saya, salah satu kakinya tak ada,” kenang Yuda.
Mereka cukup lama berbincang agak lama sebelumnya. Dan di penghujung percakapan, Yuda menyodorkan sebungkus nasi untuk si bapak. Namun tak disangka, bapak itu mengangkat tangan sebagai bentuk penolakan.
Dia mengaku sudah makan malam dan menyuruh Yuda untuk memberikan nasi itu kepada orang lain. “Bayangkan saja, orang yang belum tentu bisa makan sehari sekali saja, masih sempat memikirkan orang lain. Di situ hati saya tersentuh,” kata Yuda.
Pengalaman yang lain, diceritakan oleh Ari. Ia pernah juga menjumpai seorang wanita paruh baya yang hidup luntang-lantung di Pekanbaru.
Awalnya ia bersama suami dan anaknya merantau ke Kota Bertuah. Namun karena ingin memperbaiki hidup, sang suami pergi merantau namun hingga kini tak kembali.
Begitu juga dengan tiga orang anaknyam pergi pamit untuk bekerja namun tak pulang-pulang juga. Akhirnya hanya ibu itu sendiri yang tinggal sendiri di Pekanbaru.
Menurut cerita Ari, awalnya mereka menjumpai perempuan itu sedang mencari sisa makanan di tong sampah yang tergeletak di pinggir jalan.
“Iba melihatnya, Bang.”Kami mengahampiri wanita itu dan berusaha melakukan pendekatan,” kisahnya.
“Lagi ngapain, bu.” “Enggak, enggak, enggak lagi ngapa-ngapain,” jawabnya, sambil membersihkan sisa makanan yang menempel di sekitar bibirnya.
Setelah berbicara panjang lebar, akhirnya perempuan itu mengaku bahwa dia tak sanggup lagi untuk membayar sewa rumah semenjak ditinggal pergi suami dan anaknya.
Ia akhirnya diusir oleh pemilik rumah dan menjual perabot untuk menyambung hidup. Sejak itulah dia menjalani hari-hari di jalanan.
“Ibu tidurnya di mana?” “Dimana capek aja, nak,” jawabnya.
Dari sini mereka seolah ikut merasakan apa yang dialami masyarakat jalanan, yang sebagian masyarakat justru menganggap hal itu hanya perilaku iseng saja. “Kami banyak belajar dari pengalaman mereka. Yang bikin kami senang, pas diberi nasi mereka langsung makan,” katanya.
Cerita lain, sambung Ari, pernah juga seorang ibu-ibu sedang mulung menggendong seorang bayi yang sedang tertidur pulas di pundaknya. Saat ditawari sebungkus nasi wanita paruh baya itu ternyata menolak.
Alasanya dia masih ada pegang uang walau tidak banyak. “Ibu yang itu belum makan, bagus kasi dia aja,” kata Ari menirukan ucapannya.
Kejadian-kejadian itu membuat mereka yakin bahwa keberhasilan komunitas berbagi nasi ini bukan dinilai dari berapa banyak nasi yang terkumpul, atau berapa banyak ‘pejuang’ yang akan turun. Tapi seberapa lama mereka bisa bertahan untuk terus memberikan nasi.
Jarum jam sudah menunjukkan 01.00 dini hari, di akhir bulan September 2014. Satu tim ‘pejuang’ sudah duduk bersila di trotoar Jalan Cut Nyak Dien tepat di bawah menara Bank Riau.
“Ini tempat perkumpulan terakhir kita,” ucap Yuda. Di sini biasanya mereka saling bercanda satu sama lain sambil menunggu rombongan berikutnya usai membagikan nasi.
Sambil menahan kantuk, Ari mulai bercerita tentang pengalamanya selama gabung di komunitas ini. Katanya Komunitas Berbagi Nasi tidak pernah mendata berapa jumlah anggota. Sebab tak ada syarat khusus untuk tergabung menjadi ‘pejuang’.
Tidak harus menyumbangkan nasi, cukup turun kejalan memnbantu dengan tenaga, mereka sudah dianggap sebagai anggota. “Atau menyebarkan informasi lewat jejaringan sosial saja, sudah kita anggap sebagai anggota,” kata Yuda.
Tak lama berselang satu tim ‘pejuang’ lain merapat, dan ikut bergabung. Sebagian besar dari mereka adalah para pelajar dan mahasiswa. Tapi aja juga orang sudah bekerja. Di episode yang ke 107 ini, selain berkenalan para ‘pejuang’ lebih banyak menyampaikan kesan dan pesannya.
“Nama saya Ari, kegiatan sehari-hari bekerja sebagai penjual es durian dan kuliah. Ikut berbagi nasi sudah sejak lama, mulai dari berdirinya komunitas ini.”
“Nama saya Sintia, saya mahasiswi UIR sementer 7. Terimakasih.” “Perkenalkan nama saya Ahmad Faizal Fakhri. Kegiatan saya sehari-hari sebagai teknisi freeland, terimakasih.”
“Nama saya Miskan, asal Taluk Kuantan, kegiatan sehari-hari sebagai karyawan bakso.”
 “Saya Riko Hadrian. Saya sekolah di SMK N 2 Pakanbaru. Kelas 2. Saya ikut bahagia melihat orang yang lebih susah dari kita menerima sebungkus nasi.”
“Nama saya Putra Yogi. Saya juga dri SMK N 2 Pekanbaru.” “Perkenalkan nama saya Sudarto. Biasa dipanggil Darto. Terimakasih.” “Saya biasa dipanggil Dani. Saya juga sokalah di SMK N 2 Pekanbaru.”
Sayang, ketika itu Yuda sudah pulang duluan. Usai perkenalan sebelum membubarkan diri para ‘pejuang’ ini saling berjabat tangan dan berangkulan satu sama lain. “Mau sedekah enggak mesti kaya, biar dikit yang penting ikhlas,” letus salah serang dari mereka.
Begitulah sepenggal pengalaman bertuahpos.com saat mengikuti aktivitas Komunitas Berbagi Nasi Pekanbaru. (melba)
Â
Â