BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Woro Supartinah mengatakan bahwa dalam suatu forum, APRIL telah menegaskan bahwa komitmen Sustainable Management Forest Policy atau SMFP yang diberlakukan perusahaan itu, akan dijalankan 30 perusahaan yang terafiliasi dengan APRIL.
Namun persoalannya, kata Woro, hingga saat ini, APRIL belum umumkan kepada publik ke 30 perusahaan itu. Dengan demikian Jikalahari menilai bahwa itikat keseriuan APRIL ingin menjalankan komitmen hutan secara keberlanjutan hanya sebatas alat dagang saja.
“Ketidaktransparan yang mereka lakukan lagi-lagi menunjukkan bahwa APRIL belum siap berubah,” katanya.
Dari hasil pantauan Jikalahari, sebanyak 37.365,22 hektar deforestasi terjadi di area konsesi APRIL sepanjang tahun 2013 sampai 2015. Dengan angka tertinggi, masih dipegang oleh PT Riau Andalan Pulp And Paper atau RAPP di belok Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti Riau, yakni sebanyak 15.871 hektar. Pada 17 sampai 19 Oktober 2014, Jikalahari juga menemukan kembali penebangan hutan alam dan pengrusakan gambut dalam, di areal PT RAPP, di Desa Bagan Melibur.
Padahal, kata Woro, salah satu poin dalam SMFP itu adalah pemenuhan terhadap aspek legal di Indonesia. Lagi-lagi, itu tidak tergambar dalam respon APRIL terkait produk hukum terbaru yang dikeluarkan Menteri Kehutanan Lingkungan Hidup nomor 12 tahun 2015, tentang pembangunan hutan tanaman industri. Prasyarat aturan itu berupa revisi RKUPHHK-HTI, tidak segera dilakukan oleh APRIL.
Sementara terkait soal pengelolaan gambut dalam APRIL sempat mendeklarasikan moratorium di area hutan dan lahan gambut. Namu dalam realitasnya perusahaan itu belum memasukkan dan mengacu pada PP 71 tahun 2014 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut. Hasil temuan Jikalahari, seluruh gambut di konsesi APRIl berada di atas hutan alam dan gambut dalam, telah dirusak untuk ditamani akasia.
Woro menyebutkan, alih-alih tunduk pada peraturan itu, APRIL malah menunjuk peat expert working grub atau kelompok kerja ahli gambut, untuk pengelolaan gambut, yang menunjukkan kelemahan perusahaan tersebut melindungi gambut dan ketidak percayaan terhadap regulasi di Indonesia. “Komitmen APRIL terhadap pemenuhan aspek legal masih kontraproduktif,” sambungnya. (Melba)