BERTUAHPOS.COM – “Kronik PSN Rempang Eco-City, Kontroversi Investasi Tiongkok, dan Resistensi Masyarakat Rempang,” sebuah kajian yang dikeluarkan oleh Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Riau, telah diluncurkan pada Selasa, 9 Juli 2024.
Kajian ini membahas situasi dan sejarah konflik terkait Proyek Strategis Nasional (PSN) di Pulau Rempang. Peluncuran dihadiri oleh masyarakat Kampung Melayu Tua, lokasi tahap I proyek tersebut. Hasil kajian ini dipaparkan oleh Even Sembiring, Direktur Eksekutif WALHI Riau; bersama Rosni, pejuang dari Kampung Melayu Tua.
Even menjelaskan ada 5 poin utama yang perlu menjadi perhatian dalam kajian ini. Mulai dari sejarah, hingga perubahan sikap masyarakat setempat.
Menurutnya, sejarah Pulau Rempang memang bukan pulau kosong. Terbukti dari sejarah panjangnya sebelum kemerdekaan hingga integrasinya ke Indonesia.
“Ancaman terhadap Rempang dimulai setelah Keputusan Presiden No. 28/1992 yang memasukkan Rempang ke wilayah kerja daerah industri Pulau Batam,” katanya.
Poin kedua, soal transformasi proyek. Proyek pengembangan Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif (KWTE) Pulau Rempang berubah menjadi proyek Rempang Eco-city, yang kemudian ditetapkan sebagai PSN. Perubahan ini juga berdampak pada perubahan master plan dan insentif.
Ketiga, investasi Xinyi dari Tiongkok diduga dipengaruhi oleh janji investasi sebesar US$ 11,5 miliar dari Xinyi, perusahaan asal Tiongkok. “Kamu melihat ada banyak banyak kebohongan terkait perusahaan ini, termasuk klaim sebagai perusahaan kaca terbesar nomor dua di dunia dan kegagalannya dalam proyek di tempat lain,” kata Even.
Adapun poin keempat, soal represifitas PSN Rempang Eco-City yang mana proses sosialisasi, kriminalisasi, dan represifitas terjadi, termasuk insiden 7 September yang mengubah Rempang menjadi seperti daerah operasi militer.
Kelima, perubahan sikap masyarakat, dari awalnya hanya menolak relokasi dan meminta ganti rugi yang adil, kini masyarakat menolak sepenuhnya PSN Rempang Eco-City.
Sementara itu, Rosni mengatakan hanya sekitar 20% kepala keluarga yang setuju dengan relokasi tahap I, sebagian besar adalah ASN, pegawai PT MEG, BP Batam, atau pendatang yang sebenarnya tidak memiliki tanah di Rempang.
Menurut pandangan Sopandi, advokat Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang, justru lebih menyoroti hubungan aksi solidaritas pada 11 September 2023 dengan tuntutan pembebasan masyarakat yang ditangkap pada 7 September, dan mengkritik proses hukum yang tidak memperhatikan perjuangan masyarakat.
Adapun konsep hak pengelolaan yang seharusnya diberikan kepada pemerintah daerah dan masyarakat adat. Ia juga menyoroti penyalahgunaan hak ini oleh badan publik bisnis dan dampak UU Cipta Kerja, menurut Iwan Nurdin dari Majelis Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
“Investasi Tiongkok di Indonesia, yang seringkali tidak memperhatikan standar lingkungan dan sosial. Investasi ini hanya memerlukan persetujuan penguasa atau pemerintah untuk berjalan,” kata Dwi Sawung, Eksekutif Nasional WALHI
Rekomendasi WALHI Riau
Kajian WALHI Riau menghasilkan empat rekomendasi utama; pertama, Presiden Joko Widodo harus memenuhi janji politiknya untuk sertifikasi kampung tua di Kota Batam, termasuk Pulau Rempang.
Kedua, penyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam akibat PSN Rempang Eco-City melalui evaluasi proyek, landreform yang berkeadilan, perlindungan ekosistem laut, dan evaluasi Badan Pengusahaan Batam.
Ketiga, Komnas HAM menindaklanjuti rekomendasinya terkait dugaan pelanggaran HAM pada peristiwa 7 September 2023. Keempat, Ombudsman RI memastikan tindak lanjut atas rekomendasinya kepada BP Batam dan pihak terkait untuk mengevaluasi PSN Rempang Eco-City dan mengoreksi maladministrasi yang terjadi.
Acara peluncuran kajian ini ditutup dengan pesan dari masyarakat Rempang dan perwakilan LBH Mawar Saron yang menyatakan kekecewaan terhadap BP Batam dan meminta kepastian data persetujuan relokasi.***