BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Majlis Rusydiyah Club begitu menarik bagi Putra Tertua Sultan Kerajaan Riau-Lingga, Tengku Usman. Pada April 1906, Tengku Usman pulang dari menuntut ilmu di Kairo Mesir dan dia berpidato di tengah majlis perkumpulan Rusydiyah Club.
Pidato ini berisi respon dirinya terhadap situasi politik di Kerajaan Riau-Lingga ketika itu. Pidato Tengku Usman dimuat di Majalah Al-Iman, Jilid I, v, lt 17 November 1908.
“Bahkan kami sangka barangkali tuan-tuan sekalian sangat gembira hati dengan dukacita melihatah hawadis (kejadian baru) yang menimpa watan kita yang aziz. Maka hendaklah diketahui bahwa segala yang daif kuat ia apabila berhimpun dan segala mereka yang miskin itu kaya bila ia bersatu. Sesungguhnya telah menjadikan Tuhan akan sekalian kita ini laki-laki. Memiliki tiap-tiap seorang daripada kita hati dan lidah. Maka serahkan olehmu akan keduanya itu pada menghidmatkan akan tanah air dan ummah dan angkat oleh kamu akan suara sekalian kamu lawan segala seterunya dan lawan sekalian orang yang khianat akan dia dan sekalian orang yang munafikin.”
“Pidato politik Tengku Usman ini sebagai reaksi Rusydiyah Club menyikapi kontrak politik antara Kerajaan Riau-Lingga dan Residen Riau pada tahun 1905. Sebuah pidato dengan esensi: penuh perlawanan, terhadap situasi politik kolonial ketika itu,” kata Ahmad Dahlan seperti dikutip dari bukunya dengan Judul Sejarah Melayu (terbit: 2014-cetakan pertama).Â
Pidato ini tidak hanya mencemaskan Sultan Abdul Rahman, tapi juga bikin khawatir Residen Riau, Willian Albert de Kanter, sebagai wakil tertinggi pemerintah Belanda di Riau ketika itu.Â
Perubahan Rusydiyah Club dari perkumpulan cendikiawan menjadi gerakan politik memang tidak bisa dielakkan. Dan para anggota organisasi ini sadar melakukan hal itu. Dan mereka merasa bertanggung jawab sebagai anak watan (warga negara) yang tidak pernah rela bangsanya diperlakukan semena-mena oleh penjajah.Â
Dalam tulisan Ahmad Dahlan juga dijelaskan bebedapa poin yang dilakukan oleh para cendikiawan Rusydiyah Club sehingga dapat digolongkan sebagai gerakan politik menentang pemerintah Belanda. Pertama, Raja Ali Kelana dan kelompoknya selalu memberikan pandangan-pandangan politik guna menyadarkan Sultan agar jangan patuh pada pemerintah Belanda.Â
Kedua, atas saran dan petunjuk perkumpulan ini, sultan kemudian menolak untuk menandatangani kontrak politik baru yang disodorkan Belanda tahun 1910.
Ahmad Dahlan menyebutkan, dalam surat kabar Het Nieuws van Den Dag Voor Naderlandsch-Indie, nomor 34, 16a Jaargang, Vrijdag, terbit Jumat, 10 Februari 1911, pemerintah Belanda mengakui kalau sepakterjang para cendikiawan yang dituduh Belanda sebagai partai oposisi (verset party) ini telah menyulitkan mereka. Terutama atas sikap Tengku Besar, Tengku Usman, yang terus merapat ke Rusydiyah Club dan acap kali mengabaikan teguran Residen Riau, de Bruins Kops, baik secara tertulis maupun secara lisan.
“Bahkan media itu menyebut kalau organisasi ini telah mengejek pemerintah Belanda. Dan Belanda berkesimpulan situasi demikian tak bisa dipertahankan sehingga pemerintah Belanda harus ikut campur tangan dengan keras terhadap organisasi ini,” sambungnya.Â
Dahlan menceritakan, benih perlawanan ini semakin muncul ke permukaan ketika pasal 3 ayat 1 dalam kontrak politik tanggal 18 Mei 1905 yang ditulis dalam bahasa Belanda dan Melayu itu menyebutkan Kerajaan Riau-Lingga adalah sebagai suatu achazat (pinjaman) dari pemerintah Belanda kepada Sultan Abdul Rahman. Dahlan mengutipnya dari catatan harian Encik Abdullah, koleksi YKIS. Nomor: 2. (bpc3)Â
Bersambung ke bagian 4…