Oleh: H Sofyan Siroj Abdul Wahab, Lc, MM
Pemerintah RI sedang menggodok peta jalan bisnis dan Hak Azasi Manusia (HAM) 2020-2024. Target strategi nasional bisnis tersebut menyasar tiga hal: perusahaan yang sudah mengimplementasikan panduan bisnis dan HAM; membentuk mekanisme pendukung seperti due diligence, pelaporan, dan pemulihan; indikator dan target yang lebih fokus.
Pembentukan peta jalan merupakan bentuk komitmen terhadap United Nation Guiding Principles (UNGPs), yang sederhananya bisa ditafsirkan panduan pertanggungjawaban dari pelaku usaha dan pelaku ekonomi terhadap segala hal berkaitan dan muncul akibat aktivitasnya. Perusahaan dimaksud baik itu ‘plat merah’ dan swasta.
Di sisi pemerintah sendiri wujud implementasi dengan terbitnya Peraturan Menteri KKP No.35 Tahun 2015 tentang Sistem dan Sertifikasi HAM pada Usaha Perikanan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), berikut juga ada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mengintegrasikan bisnis dan HAM dalam sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) dan Amdal.
Namun besar harapan, fokus penerapan peta jalan tak hanya pada perusahaan milik pemerintah. Kebutuhan sama juga mendesak diberlakukan secara umum. Sehingga prinsip bisnis dan HAM dapat terintegrasi dalam kebijakan pembangunan ekonomi khususnya di daerah.
Selama ini dari catatan Indonesia Global Compact Network (IGCN), lembaga jaringan dari PBB di Indonesia, pedoman bisnis dan HAM sudah dijalankan sejumlah perusahaan di Indonesia. Walaupun pandemi Covid-19 berdampak terhadap kemampuan perusahaan, tapi sebagian tetap melaksanakan praktik HAM dalam kegiatannya.
Lantas mengapa perhatian terhadap HAM dan aktivitas ekonomi ke depan perlu lebih diperhatikan? Sebab tuntutan global semakin sensitif terhadap isu-isu kemanusiaan. Selama pandemi kita juga disadarkan manusia lah penggerak utama ekonomi. Pemerintah sebagai regulator dan pengambil kebijakan tentu dituntut dapat mengadopsi konsep tadi.
Tuntutan tak hanya di pemerintah, perusahaan terbuka atau go public juga meningkatkan kepedulian. Karena aspek HAM menjadi penilaian investor ketika berinvestasi di perusahaan mereka.
Industri Uni Eropa dan US sampai melakukan audit rantai pasokan. Seperti perusahaan otomotif dan elektronik guna memastikan bahan baku yang ditambang atau diproduksi tanpa melanggar HAM. Untuk kasus Indonesia, meningkatnya atensi terhadap isu HAM tampak pada industri sawit dimana Pemerintah RI dibuat kewalahan oleh kampanye Uni Eropa.
Diantara isu ditonjolkan adalah aktivitas korporasi/industri perkebunan Indonesia yang sering terlibat pelanggaran HAM, konflik sosial dengan masyarakat atau masyarakat adat, petani maupun eksploitasi buruh. Ini jelas mimpi buruk.
Urgensinya bagi Riau
Sampai di sini tergambar perlunya memandang serius integrasi HAM dan aktivitas ekonomi. Terutama Provinsi Riau merujuk pada data dan angka struktur perekonomian dari sisi produksi didominasi oleh tiga lapangan usaha utama yaitu pertanian, kehutanan, dan perikanan.
Kemudian secara keseluruhan penduduk bekerja di Provinsi Riau per Februari 2020 status pekerjaan utama didominasi buruh, karyawan dan pegawai yaitu sebesar 43,76 persen. Bicara sektor perkebunan, Riau punya rapor merah. Dari informasi, konflik di sektor perkebunan kelapa sawit di Riau sejak tahun 2016-2019 terus naik rata-rata lima persen tiap tahun.
Di tahun 2019, konflik sektor sawit 38 kasus dari total 51 kasus konflik sumber daya alam di Riau. Selain dengan masyarakat adat, konflik juga diwarnai perhatian terhadap para pekerja atau buruh yang dirasa belum adil.
Padahal sektor perkebunan kelapa sawit Riau punya profil luar biasa. Dengan luas lahan sekitar 19% secara nasional, kelapa sawit dan produk turunannya menyumbang 39,31% perekonomian Riau dan menghasilkan triliunan bagi negara.
Namun ironisnya tidak dibarengi upaya perusahaan meningkatkan kesejahteraan buruh dan keluarga. Dukungan fasilitasi kebijakan Pemda pun masih kurang. Terkait konflik, menurut laporan organisasi Scale Up dari total kasus konflik sektor perkebunan sawit di tahun 2019, keterlibatan pemerintah dalam penanganan konflik hanya 31 persen.
Mirisnya sudahlah sarat konflik, tak sedikit aktivitas usaha perkebunan di Riau beroperasi secara ilegal. Dari laporan Panitia khusus (Pansus) Monitoring Lahan yang pernah dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Riau kehilangan potensi pendapatan mencapai puluhan triliun akibat ratusan perusahaan kelapa sawit yang tak punya izin dasar perkebunan dan NPWP.
Mengingat besarnya kontribusi sektor perkebunan khususnya kelapa sawit bagi perekonomian Riau, maka perlu ada kebijakan dari Pemerintah Provinsi Riau. Perlu pengelolaan isu-isu baik itu lingkungan dan HAM di sektor perkebunan dan sektor lainnya dengan ditindaklanjuti secara serius melalui fasilitasi kebijakan dan regulasi jika dipandang perlu. Karena apabila dibiarkan akan berpengaruh terhadap komoditas kelapa sawit Riau sendiri.
Terakhir, upaya integrasi praktik HAM dan aktivitas ekonomi bukan sesuatu yang bersifat pelengkap tapi justru fundamental. Pemerintah wajib hadir melindungi hak dasar masyarakat dengan cara memastikan hak tersebut dapat dipenuhi, termasuk Pemda Riau, dengan lebih banyak membuka ruang bagi aspirasi para pekerja.
Mendatangkan investor penting dan tidak sulit, apalagi Riau dengan segudang potensi dan nilai strategis. Namun memastikan investasi berbanding lurus dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat ini jauh lebih penting.
Memang pandemi memukul perekonomian daerah. Kendati demikian bukan berarti pelaksanaan HAM diabaikan, justru lebih diperhatikan. Jangan sampai pandemi dipakai sebagai alasan. Pemerintah boleh saja jor-joran beri ‘diskon’ dan membentangkan ‘karpet merah’ demi mendatangkan investor, sebagaimana alasan lahirnya Undang-Undang Omnibus Law yang diberlakukan meski mendapat banyak kritikan dari komponen masyarakat.
Namun jika pemerintah abai terhadap pemenuhan aspek HAM pekerja dalam bentuk fasilitasi kebijakan yang riil, dampak sesungguhnya bukan hanya bagi masyarakat. Tetapi ini ‘bom waktu’ bagi pemerintah dalam waktu jangka panjang.
Obral kemudahan investasi yang hanya mendengar suara pemodal dikhawatirkan akan membuka pintu bagi pelaku bisnis bermental ‘nakal’. Menanamkan duit untuk memaksimalkan untung tak peduli rakyat buntung. Lantas dampak sosial dan efek lanjutan pemerintah sendiri menanggung.
*Penulis adalah Anggota Komisi III DPRD Provinsi Riau.
(Materi dalam artikel ini merupakan tanggung jawab penulis. Redaksi Bertuahpos.com menerima artikel lepas. Tulisan dapat dikirim ke email redaksi@bertuahpos.com)