BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Pasca terbitnya Putusan Mahkamah Agung Nomor: 4950 K/Pid.Sus/2023 yang menghilangkan kewajiban terpidana Surya Darmadi untuk membayar kerugian perekonomian negara sebesar Rp39,7 triliun.
Dengan demikian, Penuntut Umum tidak lagi berwenang melakukan upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali (PK) pasca putusan MK No 20/PUU-XXI/2023 tertanggal 14 April 2023. Hal ini dikhawatirkan menjadi peluang untuk Surya Darmadi terbebas dari jerat hukum.
“Dampaknya, selama 15 tahun Surya Darmadi merusak dan mencemarkan hutan, tanah dan lingkungan hidup di Indragiri Hulu, selama itu pula masyarakat adat dan tempatan, makhluk hidup lainnya (flora dan fauna) merasakan penderitaan,” kata Koordinator Jikalahari, Made Ali, dalam keterangannya, Selasa, 26 September 2023.
Made menyebut, tatkala keadilan ekologis berupa Surya Darmadi harus membayar sekira Rp40 triliun untuk mengganti kerusakan dan pencemaran selama 15 tahun dikabulkan oleh hakim Pengadilan Negeri dan Tinggi Jakarta Pusat, sirna seketika ketika hakim kasasi Mahkamah Agung menolak dan membatalkan membayar kerugian ekologis.
Menurutnya, putusan Kasasi MA jelas bertentangan dengan rasa keadilan yang hidup di tengah masyarakat, termasuk performa dan komitmen Indonesia dalam memerangi perubahan iklim.
Hakim MK menghapus Pasal 30C huruf h beserta penjelasannya UU 11/2021 Tentang perubahan atas UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.
Alasan utama Hakim MK, empat landasan pokok yang tidak boleh dilanggar dan ditafsirkan—selain apa yang secara tegas tersurat dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP—yaitu: 1) Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde zaak).
2) Peninjauan Kembali tidak dapat diajukan terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum; 3) Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya; 4) Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan pemidanaan.
Artinya, menurut hakim MK, adanya penambahan kewenangan Jaksa dalam pengajuan PK sebagaimana diatur dalam Pasal 30 C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU 11/2021 bukan hanya akan mengakibatkan adanya disharmonisasi hukum dan ambiguitas dalam hal pengajuan PK, namun lebih jauh lagi, pemberlakuan norma tersebut berakibat terlanggarnya hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan kepastian hukum yang adil sebagaimana telah dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Even Sembiring selalu Direktur Walhi Riau mengungkapkan, Surya Darmadi, sebagai terpidana mempunyai hak mengajukan PK terhadap putusan Mahkamah Agung Nomor 4950K/Pid.Sus/2023. Kondisi ini jelas menguntungkan sekaligus melahirkan kerentanan.
Menurutnya, proses PK menutup peluang bagi hakim untuk memperberat hukuman padanya, namun memungkinkan meringankan hukuman bahkan tidak menutup kemungkinan membebaskan Surya Darmadi.
“Kita semua atas nama pencari keadilan, masyarakat sipil yang berposisi sebagai wali lingkungan harus waspada atas kemungkinan tersebut. Terlebih proses pemeriksaan perkara PK dilakukan secara tertutup rentan praktik koruptif dan dipermainkan oleh mafia peradilan,” ujarnya.
Kewaspadaan ini sangat wajar, mengingat beberapa proses peradilan di Indonesia telah terbukti dilakukan secara koruptif dan menjerat beberapa hakim dari tingkat pertama, banding, hingga level kasasi.
Evan menilai, kemungkinan adanya novum maupun pengajuan PK dengan dasar kekeliruan penerapan hukum oleh Surya Darmadi harus diantisipasi dengan mendorong Mahkamah Agung secara terbuka menyampaikan informasi terkait penggunaan upaya hukum luar biasa ini.
“Surya Darmadi merupakan satu-satunya sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan PK, ini peluang besar mafia peradilan akan ‘bangkit’. Sudah ada bukti seperti hakim Agung Sudrajad Dimyati, Gazalba Saleh dan Elly Tri Pangestu yang terima suap dalam kasasi Koperasi Simpan Pinjam Intidana. Preseden buruk tersebut plus penghapusan kewajiban Surya Darmadi untuk membayar kerugian lingkungan sebesar 40 triliun menegaskan Mahkamah Agung bukan ruang aman untuk memastikan keadilan ekologis dapat terwujud,” kata Jeffri Sianturi, Koordinator Senarai.
Jeffri menyebut, perbuatan Surya Darmadi jadi satu perbuatan dan tidak bisa dipisahkan. Bahwa sejak 2007 hingga 2022 ia melakukan usaha perkebunan sawit dalam kawasan hutan. Ia hanya memiliki IUP dan Ilok yang mewajibkan melakukan pengurusan pelepasan kawasan tapi hal itu tidak dilakukan. Ia tetap membangun bisnis sawit dalam kawasan hutan lalu menerima keuntungan illegal.
“Selanjutnya kekayan itu ia lakukan pencucian uang dengan membangun bisnis di Indonesia dan luar negeri. Usaha illegal Surya Darmadi menimbulkan membayar biaya kerusakan hutan masuk dalam kerugian perekonomian negara dan denda penggunaan kawasan hutan dari kerugian keuangan negara,” kata Jeffri.
Untuk mengantisipasi kemungkinan tersebut, penggiat lingkungan mendesak Mahkamah Agung memperkuat kebijakan kelembagaannya terkait pengawasan internal, penentuan majelis tersertifikasi dalam pemeriksaan perkara lingkungan hidup, termasuk pada level Mahkamah Agung.
“Lalu secara terbuka menyampaikan perkembangan upaya hukum kemungkinan yang ditempuh Surya Darmadi dan melakukan eksaminasi internal terhadap Putusan Nomor 4950K/Pid.Sus/2023 guna memastikan ketepatan pertimbangan hukum yang dilakukan oleh Majelis Hakim Agung dalam memutus perkara tersebut,” kata Even Sembiring.***