BERTUAHPOS — Melonjaknya harga buah kelapa di pasaran membuat harga santan turut meroket. Tidak hanya kebutuhan rumah tangga, usaha rumah makan di Pekanbaru pun semakin terjepit karena modal lebih besar ketimbang keuntungan yang didapat.
Sebelumnya, harga kelapa di tingkat pedagang hanya berada di kisaran Rp4.000 per butir. Kini, melejit hingga Rp12.000 per butir, atau naik hingga 300 persen. Kondisi ini membuat para pelaku usaha kecil dan konsumen rumah tangga kesulitan menjangkau komoditas tersebut, yang juga berdampak pada harga produk turunannya seperti santan.
Ridho, salah satu pedagang santan di Pekanbaru, mengungkapkan bahwa kenaikan harga sudah mulai terasa sejak dua bulan sebelum Ramadan. “Harga santan mulai naik sejak sebelum puasa. Sampai sekarang belum turun juga,” ujar Ridho kepada Bertuahpos, Senin, 24 Mei 2025.
Ia menyebutkan, harga santan siap pakai yang biasa dijualnya juga ikut melonjak dari Rp20.000 menjadi Rp30.000 per kilogram. “Banyak pembeli mengurangi jumlah belanja. Biasanya beli dua kilo, sekarang satu kilo pun pikir-pikir dulu,” ungkapnya. Akibatnya, omsetnya menurun karena perputaran barang melambat.
Tekanan juga dirasakan pelaku usaha kuliner, terutama Rumah Makan Padang di Pekanbaru — yang menjadikan santan sebagai bahan utama dalam hampir semua menu. Salah satunya dialami Rumah Makan Ampera Rizky di Jalan Lintas Timur, Pekanbaru.
“Masakan Padang nggak bisa lepas dari santan, mau nggak mau tetap beli meski mahal. Tapi kami gak bisa langsung naikkan harga menu, takut pelanggan lari. Jadi keuntungannya sekarang tipis sekali,” kata Rizki, pengelola rumah makan tersebut.
Sebagaimana diketahui, bahwa kelapa Indonesia — termasuk Riau — banyak lepas ke pasar ekspor seperti Vietnam, Tiongkok, Thailand, Malaysia dan Singapura. Menurut data yang dikeluarkan BPS, ekspor kelapa bulat Indonesia mencatat lonjakan signifikan pada triwulan pertama 2025.
BPS mencatat nilai ekspor komoditas kelapa dalam kulit (HS 08011200) mencapai US$45,6 juta sepanjang Januari–Maret 2025. Angka ini mengalami peningkatan sebesar 146% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya mencatatkan US$18,2 juta.
Sebagian besar kelapa bulat Indonesia diekspor ke China, Vietnam, dan Thailand dengan nilai ekspor mencapai US$45,6 juta sepanjang Januari–Maret 2025. Secara rinci, ekspor ke China mendominasi dengan nilai mencapai US$43,1 juta, disusul Vietnam sebesar US$2,06 juta, Thailand senilai US$299.426, dan ke negara lainnya sebesar US$144.806.
Di sisi lain, komoditas kopra (HS 12030000) justru mengalami penurunan ekspor. Sepanjang Januari–Maret 2025, nilai ekspor kopra tercatat sebesar US$5,98 juta, turun 25,4% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai US$8,02 juta.
BPS belum dapat merinci penyebab penurunan ekspor kopra, namun data menunjukkan ekspor kopra Indonesia masih didominasi oleh Bangladesh dengan nilai US$5,55 juta, sedikit menurun dari tahun lalu sebesar US$5,56 juta. Selain itu, ekspor kopra juga ditujukan ke India senilai US$328.559, Pakistan sebesar US$60.190, dan negara lainnya US$42.000.
Di Pekanbaru, kondisi ini membuat petani dan pengepul lebih memilih menyalurkan produk ke pasar ekspor ketimbang lokal, karena selisih harga yang lebih menguntungkan.
Akibatnya, pasokan kelapa untuk pasar domestik berkurang drastis, memicu ketidakseimbangan antara permintaan dan ketersediaan di dalam negeri. Pemerintah daerah diminta untuk segera mengambil langkah agar kondisi ini tidak semakin membebani masyarakat.
Jika tidak ditangani, lonjakan harga kelapa dan produk turunannya seperti santan diperkirakan akan turut mendorong laju inflasi, terutama di sektor pangan. Selain itu, tekanan terbesar akan dirasakan masyarakat menengah ke bawah yang paling mengandalkan produk ini dalam konsumsi harian mereka.
— Habibie