Sesaat setelah melintas dari gapura yang menganga, sentuhan lembut angin laut seolah ramah menyambut. Suguhan tarian daun-daun bakau seketika mengubah suasana. Bergoyang, meliuk, seirama dengan hembusan pawana.
Suasana di sini bertolak belakang dengan hawa di luar gapura yang panas bedengkang (terik, dalam bahasa Indonesia). Aroma khas alam merangsang penciuman untuk lebih dalam menghirupnya, segar, tenang, damai, di Bandar Bakau Dumai.
Dari gapura itu, menjulur jalan yang terbuat dari susunan kayu-kayu berukuran seragam. Bentuknya seperti titian. Tapi, hanya beberapa meter, jalan kayu ini berganti dengan beton keras yang mengubah pemandangan jadi lebih kontras. Jalan ini meliuk, bercabang, seolah menavigasi pengunjung untuk menjelajah lebih dalam ke berbagai penjuru di hutan bakau ini.
Pemandu jejak ini dibangun di atas pantai berlumpur dipenuhi lubang-lubang kecil sebagai tempat persembunyian Kepiting Biola (Uca sp). Mereka selalu terburu-buru, berlari tatkala mendengar riuh derap langkah kaki pengunjung. Sesekali, coba perhatikan saat mereka berkumpul, layaknya pemain musik biola tersohor, sebab capit utama dari sang jantan lebih besar dari capit minornya.
Gundukan-gundukan lumpur mirip miniatur gunung merapi, rumah bagi para Mud Lobster atau Lobster Lumpur (Thalassina anomala), juga sangat mudah ditemukan di hampir setiap sudut hutan bakau ini. Mungkin makhluk nokturnal itu ingin menunjukkan eksistensinya, dan seolah berkata, “Inilah peradaban kami.” Orang Melayu Pesisir mengenal hewan ini dengan sebutan, Udang Ketak Darat. Sesekali cicipilah. Dagingnya kenyal dan gurih khas makanan laut.
Darwis dan Bandar Bakau Dumai
Sudah menjadi kodratnya, manusia dan alam sejatinya adalah satu kesatuan. Tak mungkin bisa dipisahkan. Hukum simbiosis mutualisme memainkan perannya di sini. Sama halnya dengan Bandar Bakau Dumai, yang memulai kisah eksistensi dengan seorang penggiat lingkungan lokal, Darwis Mohd. Saleh.
Eko eduwisata yang berada di Jalan Nelayan Laut, Kelurahan Pangkalan Sesai, Kecamatan Dumai Barat, Kota Dumai, Riau ini terwujud berkat sentuhan tangan dingin Darwis. “Dirawat” dan “dibesarkan” penuh cinta kasih.
Semua ini bermula dari Darwis yang menyimpan kegelisahan tentang kondisi lingkungan, khususnya hutan-hutan bakau di wilayah itu.
Dia memang bukan orang baru di lingkungan, khususnya pelestarian mangrove di kawasan pesisir Dumai. Komitmen itu sudah dimulai sejak tahun 1999. Mulai dari aksi penyadaran masyarakat betapa pentingnya menjaga mangrove, disusul dengan aksi nyata penanaman bibit mangrove di tahun 2021.
Darinya pula, terbentuk kader peduli mangrove lewat sekolah alam tahun 2010. Setahun setelahnya, dia luncurkan gerakan Tindakan Inisiatif Muda Prihatin atas Sampah (TIMPAS) untuk menangani masalah sampah plastik di lingkungan pesisir.
Darwis memanfaatkan seni dan budaya sebagai sarana untuk meningkatkan kesadaran tentang pelestarian ekosistem pesisir. Sejak 2009, ia mengembangkan Bandar Bakau Dumai sebagai pusat riset dan edukasi mangrove, dan pada 2016, menjadikannya sebagai destinasi edu ekowisata mangrove.
Darwis memulung kapal-kapal bekas untuk diambil sisa-sisa kayunya. Kalau tak bisa diminta, dibeli. Potongan kayu sisa kapal bekas itu disortir, mana yang layak pakai, untuk membangun jalan. Bentuknya seperti jerambah (bangunan lantai panggung tak beratap).
Kebiasaan Darwis itu memantik perhatian dari orang-orang di sekitarnya. Dia pun jadi lebih dikenal oleh masyarakat lokal. Setelah akses ke dalam hutan bakau selesai dibangun, mulailah orang-orang berdatangan. Animo masyarakat untuk “cuci mata” meningkat. Peluang di sektor pariwisata semakin terlihat.
Baru saja naik daun, pandemi Covid-9 mematikan semuanya. Bandar Bakau Dumai kembali “mati” dari berbagai aktivitas kepariwisataan. Dia mengaku sempat putus asa. Namun, inilah titik baliknya. Semangat untuk membesarkan kawasan edu ekowisata ini seolah tak pernah padam.
“Makin parah kami di sini. Di tengah keputusasaan itulah kami menjalin kolaborasi secara emosional, tidak dengan uang,” kata Penanggungjawab Kelompok Tani Hutan (KTH) Bandar Bakau Dumai itu, Senin, 26 Agustus 2024.
Di tengah keterpurukan itu, Yayasan Konservasi Alam Nusantara mencoba membuka jalan. Setelah sepakat, terjalinlah kerja sama dengan PT Pertamina Hulu Rokan (PHR). Sekali lagi, kata Darwis, “Saya tidak minta uang. Karena Bandar Bakau ini tidak cerita uang.”
Lewat Program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL), PHR tertarik untuk membangun akses jalan beton yang membelah hutan bakau ini pada akhir tahun 2022. Akses jalan itu terhubung dengan bagian area yang lebih besar, sebagai pusat pertunjukan kesenian—masih bagian dari struktur bangunan yang sama.
“Kami memang tidak fokus ke pemberdayaan, karena kami percaya Pak Darwis sudah selesai dengan itu. Pedestrian ini kami buat seperti galeri, lebih kurang 300 meter (fasilitas untuk pejalan kaki). Selebihnya kami serahkan ke Pak Darwis,” kata Analyst Social Performance PHR WK Rokan, Priawansyah, dalam kesempatan yang sama.
Setelah fasilitas ini dibangun, orang-orang mulai berdatangan untuk menikmati dan mengenal lebih dalam tentang hutan mangrove. Dari luas 2,6 hektare, kini hutan mangrove di Bandar Bakau Dumai meningkat jadi 24 hektare.
“Malah saya yang kewalahan. Karena saya belum mampu untuk mengelola pariwisatanya. Hutan ini tak mungkin saya tinggal. Akhirnya, kami sepakati eko edukasi,” ujar Darwis.
Daya Tarik Bandar Bakau Dumai
Edu Ekowisata Bandar Bakau Dumai punya daya tarik luar biasa. Salah satu strategi marketing yang dipakai Darwis untuk mempromosikan destinasi wisata ini cukup unik, yakni lewat pendekatan seni lisan “Dongeng Putri Tujuh dan Pangeran Empang Kuala”—yang menjadi asal-usul nama Kota Dumai.
Tempat ini selalu menjadi rujukan bagi lembaga pendidikan, baik siswa, mahasiswa, akademisi, hingga ilmuwan luar negeri. Di sini, secara utuh akan diketahui bagaimana hutan mangrove bekerja sesuai dengan tugas dan fungsinya. Adapun rata-rata ada lebih kurang 4 ribuan wisatawan yang menjajal tempat ini untuk keperluan edukasi, atau hanya sekadar menikmati alam.
Kata Darwis, panggung seni di tengah hutan bakau itu telah menjadi “ruh” dari Bandar Bakau Dumai. Di sinilah seni lisan dihidupkan oleh orang Melayu pesisir, berbagai kampanye tentang lingkungan disuarakan, mulai dari cerita tentang bahaya sampah plastik, senandung lirih bernada kritik lewat petikan gitar akustik, gelap terang isu sosial, karut marut persoalan ekonomi, politik, hukum yang mendera negeri ini. Hingga gerakan-gerakan kecil penyadaran masyarakat untuk peduli lingkungan.
Tempat ini, memang tak sebagus hotel, villa atau resort. Namun dikemas sedemikian rupa agar siapapun merasakan kesan yang sama saat bertandang ke Bandar Bakau Dumai. “Seperti teras rumah,” kata Darwis, santai, nyaman, dan damai.
Selain itu, berbagai fasilitas pendukung sudah dibangun secara mandiri. Seperti Kafe Redam Pilu, yang di dibangun dengan konsep daur ulang, memanfaatkan material buangan kapal, disulap lebih menarik dan tropis.
Ada juga guest house di tepi pantai dengan pemandangan laut yang menawan. Fasilitas lainnya seperti toilet umum, dan gapura sebagai pusat galeri, tak luput menjadi spot foto yang menarik untuk pengunjung.
Jika sudah begini, tentu saja Bandar Bakau Dumai tak cukup diulas dari sisi lingkungan, tapi telah menjadi sumber pundi-pundi cuan bagi masyarakat tempatan. Gambaran omzet secara umum dari pengelolaan Bandar Bakau Dumai bisa mencapai di atas Rp20 jutaan setahun. “Karena dari penjualan bibit mangrove saja mencapai Rp75 juta setahun masih masuk,” kata Darwis.
Para warga lokal, khususnya anak muda diberikan ruang leluasa untuk terlibat langsung di kawasan ini. Tahun 2019—persisnya di awal-awal pandemi Covid-19—dibentuklah Kelompok Usaha Bersama atau KUB yang fokus mengelola sisi bisnisnya.
“Oleh Pak Darwis, kami dibiarkan untuk berkreativitas di sini. Jadi saat orang sibuk tutup kedai (karena pandemi), kami sibuk buka ruang kreativitas untuk kawan-kawan,” kata Ketua KUB KTH Bandar Bakau Dumai, Fiki Abdurrahman. “Kami coba komunikasikan dengan Pak Darwis, di-iya-kan oleh beliau,” ujarnya.
Menurutnya, motivasi awal keterlibatan mereka yang tergabung dalam KUB di Bandar Bakau Dumai tetap pada misi menjaga lingkungan, khususnya hutan mangrove ini. KUB ini dikelola sekitar 17 anak muda setempat.
Adapun jenis unit bisnisnya seperti dua kafe; Titik Reda dan Redam Pilu, barbershop, bakso bakar, batagor, dan guest house . Rata-rata omzet dari semua unit bisnis yang dikelola KUB ini bervariasi.
“Secara finansial, alhamdulillah masih masuk. Konsep kita outdoor. Jadi kalau musim hujan omzetnya sekitar Rp8 juta. Kalau musim lagi bagus, bisa lebih dari Rp10 juta per bulannya (di luar penjualan bibit mangrove),” tuturnya.
Simbiosis Mutualisme
Hutan mangrove ini dikelola dengan konsep pentahelix yang melibatkan berbagai sektor, termasuk Pemerintah Daerah melalui Dinas Lingkungan Hidup, universitas, LSM, perusahaan, dan masyarakat sekitar.
Namun secara internal, hutan ini juga dimanfaatkan oleh kelompok sadar wisata yang fokus mengangkat keindahan pesonanya, kelompok usaha bersama yang fokus pada sisi finansialnya, kelompok UMKM dengan berbagai kreativitasnya, hingga pembibitan mangrove yang fokus pada keberlangsungan hutannya.
Selain PHR, Rimba Satwa Foundation (RSF) juga berkontribusi membentuk Bandar Bakau Dumai seperti sekarang. Dorongan pengembangan edu ekowisata mangrove ini melalui berbagai kegiatan intervensi dan pendampingan, tak pernah putus dilakukan.
“Tujuan utama dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan perekonomian masyarakat setempat,” ujar Git Fernando dari SRF yang juga merupakan mitra pelaksana dari PHR WK Rokan.
Menurutnya, wisata mangrove sangat menarik dan unik karena belum banyak yang menangkap peluang tersebut. Selain itu, mangrove memiliki kemampuan menyerap karbon dioksida (CO2) hingga empat kali lebih banyak dibandingkan dengan hutan tropis pada umumnya, belum lagi bicara soal fungsinya sebagai penangkis gelombang untuk mencegah abrasi, dan penetralisasi air laut dari limbah aktivitas kapal.
Tak hanya itu, puluhan hektare hutan mangrove ini habitat baru berbagai jenis satwa. Surga bagi para burung, primata endemik seperti lutung kokah, lutung kelabu, kera ekor panjang, beruk, ular, serangga, ikan, dan berbagai jenis hewan amfibi lainnya.
Kata Git Fernando, Burung Raja Udang telah menjadi satwa ikonik di Bandar Bakau Dumai. Aves ordo Coraciiformes berbulu bulu indah dan warna mencolok itu, telah menjadi bagian dari rantai makanan yang tak terpisahkan dari hutan bakau ini. “Burung itu menjadi ikon di sini,” ucap Git Fernando.
RSF lebih banyak fokus pada manajemen kawasan, seperti mengarahkan masyarakat dalam mengelola Bandar Bakau Dumai dan memberikan intervensi pada aspek-aspek yang masih kurang.
Satu hal yang turut menjadi kebanggan bagi RSF, kata Git, KTH Bandar Bakau ini mampu berinovasi dengan mengembangkan berbagai usaha cabang dari edu ekowisata mangrove. Ia berharap, Bandar Bakau Dumai bisa menjadi destinasi utama bagi masyarakat Riau yang ingin menikmati keindahan dan manfaat ekosistem mangrove.
Dengan adanya dukungan dari berbagai pihak, RSF optimis bahwa pengembangan edu edu ekowisata mangrove di Dumai akan membawa dampak positif bagi lingkungan dan kesejahteraan masyarakat setempat. “Tugas kami di sini hanya untuk pendampingan,” tuturnya.
Jadi Magnet Wisman dan Ilmuwan
Program TJSL yang diterapkan di Bandar Bakau Dumai telah menunjukkan perkembangan signifikan sejak dimulai pada akhir 2022. “Dalam satu setengah tahun terakhir, kawasan ini telah berubah drastis, terutama dari sisi wisata dan ekonomi,” kata Priawansyah.
Selain menjadi magnet wisatawan edukasi, Bandar Bakau Dumai juga memantik wisatawan mancanegara dan ilmuwan luar negeri. Seperti Rusia, Montenegro, Jepang, dan Malaysia, untuk melihat dan mempelajari ekosistem mangrovenya.
“Mereka tertarik untuk meneliti burung-burung migrasi yang datang ke sini, karena kehadiran burung-burung tersebut menjadi indikator penting bagi kondisi ekologi di wilayah asalnya,” kata Priawansyah.
Riset kecil-kecilan juga sudah dilakukan. Dari 24 hektare hutan mangrove telah mengurangi emisi karbon hingga 1.268 ton CO2Eq atau setara dengan emisi dari 845 mobil. Mangrove dikenal sebagai tanaman yang sangat efektif dalam menyerap CO2.
Baru-baru ini, survei mengungkap adanya kucing bakau endemik yang dilindungi oleh IUCN, serta burung migrasi dari luar negeri berkunjung ke kawasan ini.
“Selain mengurangi emisi karbon, program ini juga membantu menjaga ekosistem flora dan fauna,” katanya.
Tahun mendatang, RSF akan memfasilitasi para pemuda untuk merumuskan visi dan misi dalam mengembangkan Bandar Bakau Dumai ke arah yang lebih baik. PHR juga berkomitmen untuk terus mendampingi masyarakat dalam upaya ini.
Keberadaan hutan bakau di kawasan ini sangat penting untuk menjaga kualitas air di Bandar Bakau. Tanpa mangrove, air di kawasan ini diprediksi akan lebih tercemar oleh limbah aktivitas kapal.
Perjalanan kegigihan Darwis yang mengabdikan lebih dari separuh sisa umurnya memang tak banyak yang tahu. Tapi kondisi Bandar Bakau Dumai saat ini, sudah cukup untuk menjawab semua itu.
Hutan mangrove ini, telah merekam setiap jejak kontribusi pihak-pihak yang peduli, dan ingin menjadi bagian darinya.
Sekali lagi, usaha tak pernah mengkhianati hasil. Maka berproseslah dan nikmatilah. “Barangsiapa yang berusaha dengan kerja keras, ia akan meraih hasil yang diharapkan,” kata Akbar Zainuddin dalam bukunya berjudul; Man Jadda wa Jadda, (2010).***