BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Jika ditanya, pasukan mana yang mengejar dan menewaskan Sisingamangaraja XII di pedalaman Sumatera Utara, atau yang menangkap keluarga sultan Aceh, atau yang menangkap pimpinan perang Aceh, Panglima Polim, jawabannya hanya satu. Pasukan Marsose Kolone Macan.
Pasukan ini disebut sebagai pasukan paling hebat Marsose Belanda, serta juga yang paling kejam. Pimpinannya tak kalah kejam, seorang perwira bernama Hans Christoffel, asal Swiss.
Dikutip dari buku Nino Oktorino berjudul ‘Perang Terlama Belanda: Kisah Perang Aceh 1873-1913‘ (hal 102-104), Kolone Macan didirikan di Cimahi dan terdiri dari prajurit pilihan yang beringas, jago berkelahi, dan bujangan. Pasukan ini mudah dikenali denagn simbol kain merah di leher.
Mereka adalah prajurit pilihan dari prajurit pilihan, karena pasukan Marsose sendiri sudah merupakan pasukan khusus Belanda untuk menghadapi taktik gerilya.
Sang kapten, Hans Christoffel tak kalah tangguh. Dia sudah luka berkali-kali selama tugasnya di Aceh. Termasuk, saat peluru menyerempet kepalanya, atau saat ibu jarinya putus ditebas prajurit Aceh.
Pada 24 September 1910, pasukan Kolone Macan berhasil mengendus dan menewaskan Pang Nanggroe di rawa-rawa Paya Picem. Pan Nanggroe adalah suami Cut Meutia. Beruntung, Cut Meutia berhasil lolos.
Metode Kolone Macan dalam menghadapi penduduk juga menyeramkan. Mereka akan mendatangi suatu desa, menandai rumah yang prianya sedang tak ada. Keesokan harinya, mereka kembali. Jika si pria tak memberikan jawaban yang memuaskan, mereka langsung ditembak mati di depan rumahnya.
Untuk menghadapi para pejuang Aceh, Kolone Macan tak kalah cerdiknya. Mereka melacak isteri dan anak para pejuang, dan menjadikan mereka sandera, sehingga memaksa banyak pejuang menyerah.
Aksi pembunuhan dan pembersihan Kolone Macan benar-benar singkat dan tuntas. Namun, banyak perwiranya yang masih mempunyai hati tidak tahan, dan meminta dipindahkan ke unit Marsose biasa. (bpc4)