BERTUAHPOS.COM, PEKAMBARU — Para remaja di Tanah Air dihadapkan dengan masalah baru. Perkembangan teknologi sangat rawan jika dibiarkan bebas di tangan mereka.
Terutama terhadap “aplikasi kencan” yang sangat berpotensi akan menyebabkan “kekerasan digital”.
Para lelaki hidung belang punya banyak trik dan menggunakan segala cara untuk mendapatkan apa yang mereka mau — terutama untuk memuaskan nafsu syahwat.
Oleh sebab itu “kekerasan digital” menyebabkan tekanan psikologis terutama bagi remaja wanita.
Misalnya, saat bertemu mereka memanfaatkan momentum tertentu untuk mengambil gambar atau video yang sensitif, lalu itu dijadikan bahan untuk mengancam jika tak ingin memenuhi keinginannya.
Contoh lain, bisa saja seseorang akan bermasalah dengan jiwanya karena terguncang.
Mereka sudah sangat dekat di aplikasi lalu janjian untuk bertemu, ternyata tidak sesuai ekspektasi pasangan sehingga mengakibatkan penolakan. Kedepan dia akan takut bertemu langsung dengan orang lain.
Psikiater Jiemi Ardian mengatakan, kebanyakan dari pasiennya yang sebagian besar anak muda mengalami kekerasan saat berkencan melalui aplikasi daring, meski, dia tidak mengungkapkan berapa banyak kasusnya.
“Pasien saya rata-rata anak muda, jadi yang kayak gitu banyak,” ungkap Jiemi seperti dikutip dari BBC Indonesia.
“Aplikasi kencan” memang banyak dimanfaatkan oleh anak muda, tapi perlu diingat bahwa siapapun bisa mengakses aplikasi yang menyediakan layanan relationship tanpa komitmen ini.
Kecenderungan ada beberapa karakter orang yang memang menggunakan aplikasi kencan untuk mendapatkan pasangan. Misalnya terhadap orang yang takut akan penolakan.
“Karena penolakan itu menyakitkan, maka lebih mudah menghadapi penolakan di dunia maya dibanding dunia nyata. Dan bagi beberapa orang, dating apps adalah alur yang tepat untuk dipilih.”
“Kalau pun ditolak, ya nggak kelihatan juga. Ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang bisa seperti ini, salah satunya karena pernah dikecewakan sehingga melampiaskannya ke digital. Tapi ada juga (pakai aplikasi) untuk mendapatkan pasangan yang serius,” kata Jiemi.
Sedangkan dampak penggunaan aplikasi kencan terhadap kesehatan mental, Jiemi mengungkapkan memang belum ada penelitian yang bisa mengemukakan itu.
Sementara ini, dampak langsung aplikasi kencan terhadap kesehatan mental “hanya sebatas asumsi”.
“Tapi hipotesis itu tidak pernah terbukti secara ilmiah. Hubungannya ada. Misalnya, saya cemas, saya takut ketemu orang, saya pakai dating apps. Karena saya cemas, saya takut ketemu orang dan saya pakai dating apps, akhirnya setiap diajak ketemu, canggung, kemudian ditolak.”
“Saya pakai dating apps lagi, ketemu, canggung, ditolak lagi, padahal di-chat sudah enak. Akhirnya saya terus-menerus merasa ditolak, saya makin cemas. Diasumsikan, dia pakai dating apps makin cemas, padahal nggak. Itu tidak sesederhana, karena ada teknologi yang memberi dampak pada gangguan jiwa. Hal itu tidak sepenuhnya benar, tapi juga tidak sepenuhnya salah,” kata Jiemi.
Walau begitu, menurutnya, aplikasi kencan membuat jumlah kekerasan psikologis dan seksual cepat meningkat.
“Fasilitas itu tidak sepenuhnya salah karena itu memudahkan bertemu orang baru, memudahkan ketemu dengan orang yang kriterianya sesuai, itu kan memudahkan. Tapi hidup kan selalu punya dua sisi, ada potensi sebaliknya,” kata Jiemi.
“Kalau kita melihat harm yang terjadi pada online dating, misalnya pemerkosaan atau bahkan sesederhana penolakan, itu jumlahnya bertambah dengan cepat karena ada fasilitas ini, yang mungkin sebetulnya dulu (potensi kekerasannya) ada tapi karena nggak ada pool yang mewadahi, itu semua jadi terpisah, terpecah,” katanya. (bpc3)