Oleh: Dr. Aidil Haris, S.Sos., M.Si
Dosen Tetap Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Komunikasi UMRI
———
BUYA HAMKA pernah berkata, jika engkau telah mengetahui sesuatu, hendaklah engkau terus terang mempelajari sampai tahu benar. Kalau engkau belum tahu, katakan terus terang bahwa engkau belum tahu. Itulah dia pengetahuan. Orang yang mengaku segala tahu, bukanlah orang yang berpengetahuan.
Mungkin fenomena inilah yang terjadi disaat pandemi covid 19 mewabah. Setiap orang, mulai dari pemimpin bangsa ini hingga rakyat jelata mengaku tahu, sedangkan orang yang tahu tidak pula mau memberitahu, sementara orang tidak tahu mengaku tahu, akibatnya proses komunikasi yang terjadi mengalami evasi. Alhasil, terjadilah krisis komunikasi dari berbagai sudut pandang dan perspektif. Bahkan krisis komunikasi yang terjadi itu menjadi blunder di media massa sebagaimana dirilis Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).
LP3ES mencatat ada sejumlah pernyataan blunder yang dikeluarkan pemerintah pusat selama pandemi virus Corona (COVID-19). Seperti yang dilansir detik.com, pernyataan blunder itu dikeluarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan kabinetnya. Kesimpulannya, dalam tempo kurang dari 100 hari sejak Corona menjadi isu dan ancaman di Indonesia mulai akhir Januari, telah ada 37 pernyataan blunder yang dikeluarkan jokowi dan kabinetnya dalam penanganan COVID-19. Bahkan LP3ES merinci terdapat 13 pernyataan blunder pemerintah di masa pra krisis, 4 pernyataan blunder di fase awal krisis dan 20 pernyataan blunder di masa krisis.
Hambatan komunikasi pada umumnya mempunyai dua sifat yaitu evasi objektif dan evasi subjektif.
LP3ES menyoroti sikap pemerintah yang dinilai tidak serius menangani Corona. 13 pernyataan blunder pemerintah dalam wujud penolakan kemungkinan corona yang dinyatakan oleh 10 pejabat mulai dari Presiden, Wakil Presiden, Menteri Kesehatan, Menko Maritim, Menko Polhukam, Menko Perekonomian, Menhub, Kepala BNPB, Menteri Pariwisata hingga Dirjen Perhubungan, begitu banyaknya yang berkomunikasi. Akibat sikap pemerintah yang cenderung menyepelekan tersebut tentu membuat publik gagal menyiapkan diri dalam menghadapi wabah virus Corona, sehingga muncul kepanikan masyarakat.
Fakta yang terjadi ini akibat adanya evasi komunikasi pada setiap unsur komunikasi, terutama pada unsur komunikator, isi pesan dan komunikan. Para ahli komunikasi menyebutkan terdapat beberapa aspek yang mendasari krisis komunikasi, diantaranya adalah persepsi publik, kejadian yang tidak terprediksi, dan ancaman terhadap organisasi.
Pada konsepsi lain, krisis komunikasi terjadi diakibatkan adanya evasi komunikasi. Evasi komunikasi merupakan gejala mencomoohkan dan mengelakkan suatu komunikasi untuk kemudian mendiskriditkan atau menyesatkan pesan komunikasi. Hambatan komunikasi pada umumnya mempunyai dua sifat yaitu evasi objektif dan evasi subjektif. Hyang sifatnya objektif adalah gangguan dan halangan terhadap jalannya komunikasi yang tidak disengaja dibuat oleh pihak lain, tapi mungkin disebabkan oleh keadaan yang tidak menguntungkan.
Hambatan yang bersifat subjektif ialah yang sengaja dibuat oleh oranglain, sehingga merupakan gangguan, penentangan terhadap suatu usaha komunikasi. Dasar gangguan dan penentangan ini biasanya disebabkan karena adanya pertentangan kepentingan, prejudice, tamak, iri hati, apatisme dan sebagainya.
Jika kita melihat pada fakta komunikasi yang terjadi dalam penanganan covid 19, mulai di level elit hingga rakyat memperlihatkan dinamika evasi komunikasi yang begitu beresiko.
Evasi juga dipahami sebagai upaya mencacatkan pesan komunikasi (Message made invalid). Kebiasaan mencacatkan pesan komunikasi dengan menambah-nambah pesan yang negatif. Atau evasi juga diterjemahkan dengan mengubah Kerangka Referensi (Changing frame of reference). Kebiasaan mengubah kerangka referensi menunjukkan seseorang yang menanggapi komunikasi dengan diukur oleh kerangka referensi sendiri.
Jika kita melihat pada fakta komunikasi yang terjadi dalam penanganan covid 19, mulai di level elit hingga rakyat memperlihatkan dinamika evasi komunikasi yang begitu beresiko. Salah satu resiko yang tampak terlihat adalah semakin tingginya angka kasus positif covid 19 di Indonesia.
Indikatornya adalah rendahnya kesadaran masyarakat untuk patuh dan taat pada aturan protokoler kesehatan dan krisis ketidakpercayaan pada pemimpin. Apabila kondisi ini terus dibiarkan, maka efek yang akan terjadi tentu akan lebih parah lagi.
Oleh karena itu, perlu sebuah penyadaran yang komprehensif dilakukan berbagai pihak, mulai dari tingkat elit hingga masyarakat. Dari perspektif Komunikasi Islam, upaya penyelesaian yang mesti dilakukan untuk mengatasi krisis komunikasi dalam penanganan covid 19 adalah dengan memandang informasi sebagai barang sosial dan bukan komoditi semata, sehingga sangat diperlukan keseimbangan dan tanggung jawab sosial dari para pelaku komunikasi.
Dengan demikian akan tercipta komunikasi yang efektif antara penguasa dengan rakyatnya. Jika ini terwujud, maka upaya penanganan dan memutus rantai penyebaran covid 19 bisa teratasi lebih tepat dan cepat.***