BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Moratorium izin usaha umrah dan haji resmi dicabut pemerintah. Kementerian Agama telah mengeluarkan surat edaran terkait hal itu pada 11 Februari 2020 lalu.
Berdasarkan informasi yang diterima, sehubungan dengan telah diterbitkannya keputusan Menteri Agama Nomor 28 Tahun 2020 tentang Pencabutan atas Keputusan Menteri Agama Nomor 229 tahun 2018 tentang Moratorium Pemberian Izin Baru Penyelenggara Haji dan Umrah.
Bersamaan dengan itu juga telah diterbitkan Keputusan Dirjen Penyelenggara Haji dan Umrah Nomor 100 tahun 2020 tentang Persyaratan Rekomendasi Izin Operasional sebagai penyelenggara perjalanan ibadah umrah dan haji.
Setidaknya ada 6 langkah yang harus dilakukan oleh pengajuan izin pelaksanaan penyelenggara haji dan umrah baru. Poin-poin itu pada prinsipnya mirip dengan prosedur pengurusan izin sebelumnya.
“Sistemnya kini menggunakan online karena kita menghindari sistem tatap muka supaya kesan yang selama ini di lontarkan oleh berbagai pihak yang tidak bertanggung jawab itu bisa terhindari,” kata Direktur Jenderal (Dirjen) Penyelenggaraan Haji dan Umroh (PHU) Kemenag, Nizar, dalam siaran pers yang dilihat dari situs Kemenag.go.id.
Dia menambahkan, sistem online diharapkan bisa mempermudah masyarakat mengajukan izin PPIU karena prosesnya yang lebih terbuka. Saat ini, Kemenag mengintensifkan pengawasan dan pembinaan terhadap Biro Perjalanan Wisata (BPW) yang tidak memiliki izin sebagai PPIU. Sejumlah BPW yang tidak memiliki izin sebagai PPIU telah diperiksa dan diminta menghentikan aktivitasnya melayani jamaahumroh.
Pengawasan dan pembinaan sekaligus sarana sosialisasi Undang-Undang (UU) Nomor 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Aturan ini lebih detail membahas umroh dengan 20 pasal daripada UU No 13 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Haji yang hanya punya empat pasal tentang umroh.
UU Nomor 8 tahun 2019 pasal 122 menyatakan, tiap orang yang tanpa hak bertindak sebagai PPIU dengan mengumpulkan dan atau memberangkatkan jamaah umroh akan mendapat sanksi. Mereka yang terbukti melakukan tindakan tersebut akan dipidana penjara paling lama enam tahun atau denda paling banyak Rp6 miliar. (bpc3)