BERTUAHPOS.COM — Destinasi wisata Kampung Naga di Tasikmalaya, merupakan salah satu warisan budaya yang hingga kini masih tetap terjaga kelestariannya.
Kampung Naga di Tasikmalaya, menjadi salah satu tempat yang menonjol dalam hal pelestarian tradisi. Sebuah kampung unik yang tetap menjaga kearifan lokalnya di tengah arus modernisasi.
Kampung Naga terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya.
Kampung ini memiliki luas sekitar 4 hektar, yang mencakup lahan pertanian, hutan, pemukiman, dan tempat-tempat suci.
Meskipun kecil, kampung ini dihuni oleh sekitar 100 kepala keluarga dengan total 110 bangunan.
Dari jumlah tersebut, 108 bangunan berupa rumah panggung dengan dinding anyaman bambu, lantai papan kayu, dan atap ijuk.
Nama Kampung Naga berasal dari kata Sunda “Nagawir,” yang berarti kampung yang berada di bawah tebing terjal, bukan dari mitologi naga seperti yang mungkin diasosiasikan.
Untuk mencapai kampung ini, pengunjung harus menuruni 439 anak tangga dengan kemiringan 45 derajat.
Kampung ini juga dihubungkan langsung dengan Sungai Ciwulan yang beraliran deras, yang berasal dari Gunung Cikuray, salah satu gunung tertinggi di Jawa Barat.
Masyarakat Kampung Naga sangat menjaga tradisi dan kearifan lokal mereka.
Salah satu bentuk pelestarian ini adalah penolakan terhadap segala bentuk modernisasi yang dianggap mengancam keseimbangan alam dan kehidupan sosial mereka.
Pada tahun 1956, sempat terjadi insiden ketika organisasi DI/TII mencoba memasuki Kampung Naga, namun ditolak oleh masyarakat.
Akibatnya, kampung ini sempat dibakar, dan sebagian sejarahnya hilang. Peristiwa ini membuat masyarakat Kampung Naga semakin ketat dalam menjaga tradisi dan kepercayaan mereka.
Salah satu ciri khas lainnya adalah Kampung Naga tidak terhubung dengan jaringan listrik. Meski begitu, warga memanfaatkan aki untuk menjalankan peralatan elektronik seperti televisi dan radio. Mereka percaya bahwa listrik akan berdampak negatif bagi kehidupan mereka.
Selain menjaga tradisi, masyarakat Kampung Naga juga hidup selaras dengan alam. Mereka memanfaatkan hasil pertanian secara bijak dan menjaga keutuhan lingkungan sekitarnya.
Pohon-pohon di Bukit Naga dan Bukit Biuk dianggap sebagai sumber air yang vital, sehingga penebangan pohon dilakukan dengan sangat hati-hati dan penuh pertimbangan.
Kampung Naga juga memiliki pepatah warisan para leluhur, yaitu “Lojor teu beunang disambung, pondok teu beunang dipotong,” yang berarti menjaga keutuhan alam dan hidup secara alami.
Hingga kini, Kampung Naga tetap menjadi simbol pelestarian tradisi dan alam. Kampung ini sering dikunjungi sebagai destinasi wisata edukasi, baik oleh pelajar maupun masyarakat umum yang tertarik untuk mempelajari tradisi dan kehidupan yang masih mempertahankan kearifan lokal di tengah kemajuan zaman.***