BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Lazim kita perhatikan di beberapa masjid di kota Pekanbaru yang menyediakan kota amal sosial, masjid dan anak yatim. Padahal asnaf ada 8. Termasuk di dalamnya musafir, fakir, miskin, mualaf.
Seperti Masjid Jogokariyan di Yogyakarta selalu nol kasnya, demi umat. Seperti apa faktanya? “Benar. Sudah ada satu masjid di Yogya yang menjadi acuan di Indonesia. Bahkan waktu kita ke situ ada penginapan, di dalamnya sudah standar hotel. Jadi soal kas yang selalu Rp0 itu bukan tak ada donasi, tapi peruntukannya sudah jelas,” ungkap Ustadz Marabona, yang juga dosen di sebuah sekolah tinggi Islam di Pekanbaru ini.
Apa yang terjadi di banyak mesjid soal pengelolaan dana umat tidak dipahami sepenuhnya. Pada prinsipnya, pada diri setiap Muslim itu, kata dia, melekat kemampuan untuk menyantuni anak yatim. Artinya, bukan hanya di saat lebaran saja. Hal ini, karena anak yatim adalah Muslim yang secara lahiriyah sama dengan Muslim lainnya. Mereka juga membutuhkan makan dan kebutuhan rutin lainnya setiap hari.
Dia mengatakan, jika memang pengelolaan atau manajemen mesjid tertata rapi, maka tak perlu ada kotak infak khusus untuk anak yatim. Hal ini juga mengajarkan agar setiap orang di suatu kawasan memiliku tanggung jawab atas kewajibannya, bagaimana memperlakukan anak yatim sesuai dengan ketentuan syariat.
“Masjid yang berdaya, justru masjid yang punya usaha sebagai unit produktifnya di masjid. Seperti di Pelalawan, ada masjid yang menjadikan teras depan sebagai lahan produktif pasar kaget. Omsetnya Rp10 jutaan per bulan,” ungkap Marabona.
Dia menjelaskan, di masa Nabi Muhammad SAW, urusan dunia pun diselesaikan di masjid. Domain masjid itu ada 3. Pertama, riayah: mulai pembangunan sampai maintenance, sesuai urgensinya. Seperti pembangunan sekolah. Kedua, idaroh alias pengadmistrasiannya. Semua yang dilakukan bisa dipertanggungjawabkan.
“Ketiga, Imaroh, yaitu memakmurkan masjid, biasa dalam dakwah, pendidikan, bisa dalam pembanganan umat., seperti saat pandemic, peran masjid apa?” ulasnya.
Dosen Ilmu Politik Universitas Riau, DR Hasanuddin yang juga diamanahkan sebagai ketua yayasan masjid di tempat tinggalnya membenarkan kalau masjid harus hidup.
“Saya senang karena ada empat akademisi yang bisa memberi support untuk pengambangan masjid di tempat tinggal saya. Bahkan kini ada kedai kopi untuk diskusi soal sosial masyarakat semkaligus unit usaha”.
“Modalnya dimaulai dari urunan anggota yayasan. Ke depan kita akan bangun koperasi dan madrasah di areal masjid,” kata Hasanuddin bersemangat. Lalu bagaimana geliat masjid di tempat tinggal Anda? (bpc5)