Kebosanan Abdul Malil untuk belajar di kelas tidak berubah. Haji Rasul bahkan sudah memasukkanya ke pesantren Parabek di bawah asuhan Syaikh Ibrahim Musa.
Abdul Malik malah memutuskan keluar dari pesantren, dan mencoba berkelana hingga Payakumbuh. Bahkan, di Payakumbuh, Abdul Malik sempat ikut pacuan kuda, sebagai upah telah merawat kuda. Hanya saja, dia kalah dan diusir tuan pemilik kuda.
Bosan berkelana, Abdul Malik kemudian pulang ke rumah ayahnya di Padang Panjang. Ayah dan ibu Malik saat itu telah bercerai. Ayahnya, Haji Rasul tetap tinggal di Padang Panjang. Sedangkan ibunya, Syafiyah Tanjung menikah lagi dan tinggal di Tanah Deli.
Setibanya di Padang Panjang, Abdul Malik dapat amukan dari sang ayah karena keluar dari pesantren dan membuat malu ayahnya. Namun, Abdul Malik menolak untuk kembali sekolah di Madrasah Thawalib asuhan ayahnya.
Karena tak punya kegiatan dan selalu bertengkar dengan ayahnya, Abdul Malik diam-diam memutuskan merantau ke Tanah Jawa. Tanpa izin, Abdul Malik keluar dari rumah.
Sebulan lamanya, Abdul Malik yang hanya seorang diri tiba di Bengkulu. Namun, karena tidak ada restu orang tua, dia mendapatkan banyak halangan. Sekujur tubuhnya terkena penyakit cacar. Tak punya pilihan lain, Abdul Malik kembali pulang ke Padang Panjang.Â
Namun, keinginan Abdul Malik untuk tetap ke Tanah Jawa belum padam. Dengan meminta izin orang tuanya, Abdul Malik akhirnya sampai di Tanah Jawa pada tahun 1925.
Di tanah Jawa, tepatnya di Yogyakarta, Abdul Malik berguru langsung kepada Raden Mas Tjokroaminoto, yang kelak dikenal sebagai Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto. Dia adalah seorang pendiri Sarekat Islam, organisasi islam terbesar saat itu.
Dari Tjokoroaminoto, Abdul Malik belajar banyak tentang pergerakan Islam dalam menentang penjajahan Belanda. Abdul Malik kemudian bergabung dengan Sarekat Islam, meski umurnya baru 16 tahun.
Baca:Â Buya Hamka Ulama Patriotik, Bagian 1: Bujang Nakal
Selain berguru kepada Tjokroaminoto, Abdul Malik sebebarnya juga mengagumi KH. Ahmad Dahlan, seorang tokoh pembaharuan Islam yang mendirikan organisasi Muhammadiyah. Sayangnya, Abdul Malik tak sempat bertemu dengan Ahmad Dahlan, karena pendiri Muhammadiyah itu telah meninggal pada tahun 1923.
Abdul Malik kemudian juga mendaftarkan diri sebagai anggota Muhammadiyah. Di Muhammadiyah, Abdul Malik berguru kepada Kyai Haji Fachruddin.
Tak berselang lama, masih tahun 1925, Abdul Malik menjadi utusan Sarekat Islam untuk belajar Islam dan kepenulisan di Bandung.Â
Di Bandung, tepatnya Jalan Lengkong Besar Nomor 90, Abdul Malik bertemu dengan Mohammad Natsir, yang waktu itu bekerja di majalah Pembela Islam.Â
Sejarah kemudian mencatat, M. Natsir dan Abdul Malik atau lebih dikenal dengan Buya Hamka menjadi tokoh politik Islam di Indonesia. (bpc2)
Sumber:Â Buya Hamka, Sebuah Novel Biografi. Karangan: Haidar Musyafa. Penerbit: Imania, 2018.