BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Ketika Indonesia memasuki usia 75 tahun kini, masih perlukah kita belajar ilmu dan memahami pra sejarah dan sejarah? Masih perlukah kita pelajari sejarah Muara Takus, Borobudur dan Prambanan? Atau semua menjadi warisan budaya masa lalu saja?
Menurut seorang Doktor Ilmu Pendidikan Alumni Universitas Negeri Padang (UNP), Dr Munsar Indra Daulay, sudah seharusnya di era ini, kita memperbaiki definisi pra sejarah.
“Katanya zaman pra sejarah adalah zaman manusia belum mengenal tulisan (nir leka), berarti para nabi manusia pra sejarah. Padahal Adam sendiri diutus jadi khalifah di muka bumi, karena Adam cerdas,” ucapnya memberi pandangan, saat berbincang dengan Bertuahpos.
Menurutnya, budaya tulis menulis klasik di indonesia sudah salah mindset. Ditemukannya prasati Kerajaan Kutai tahun 400 M, dianggap sebagai awal zaman sejarah. Padahal tahun 1000 SM sudah ditemukan tembok kuil King Solomon atau Nabi Sulaiman as yang ber-relief.
Bahkan tahun 3000 SM di Mesir, sudah ada hiegrolief (tulisan bergambar). Ada pula hukum Raja Hammurabi di Babylonia (Iraq) tahun 1750 SM, artinya dimulainya zaman sejarah terbantahkan.
“Pertanyaannya masih ada nggak manusia pra sejarah? Kalau begitu, setiap manusia yang lahir di muka bumi adalah manusia pra sejarah, kapan dia berhenti zaman pra sejarahnya? Semenjak dia mengenal tulisan, kalau dia mengenal tulisan di umur 4 tahun, maka usia 0-4 tahun dia manusia pra sejarah. Di usia 4 tahun seterusnya dia sudah termasuk manusia sejarah,” ungkapnya.
Sebagai akademisi dengan latar belakang pendidikan, menurutnya, pemahakan ini sangat berkaitan dengan pola didik siswa di bangku kelas.
“Kita perlu generalisasi kurikulum. Abad 21 menginginkan siswa kreatif dan imajinatif. High older thingking skill siswa harus ditingkatkan. Imajinasi siswa akan mengatakan sejarah bukan mempelajari masa lalu, tapi mempelajari masa depan,” ulasnya.
Munsar kemudian menjelaskan ada beberapa alasan di masa kini, pola pembelajaran sejarah tidak sama dengan masa lalu. Pertama tujuan bangsa adalah kesejahteraan sosial. “Itu sudah dicapai oleh Sriwijaya dan Majapahit,” sebutnya.
Kedua, generasi kini ingin menciptakan dunia yang damai, Rasulullah sudah menciptakan perdamaian dunia, dengan cara melindungi Yahudi dan Nasrani, dalam sebuah negara Madinah.
Ketiga, ingin menuju peradaban ekonomi maju, zaman King Salomon sudah tercapai. Keempat ingin menuju Ketuhanan, kita punya Pancasila. Lalu negara adil makmur, “Sriwijaya dan Majapahit sudah adil membangun Borobudur, dan Mendut.”
Seperti halnya Raja Jayabaya dan Soekarno. “Kalau Soekarno tidak berfikir masa depan, dia tidak akan menghapus Piagam Jakarta. Sedang Piagam Jakarta dihapus saja, kita masih terkotak-kotak,” ungkapnya. (bpc5)