BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Sebuah Mahkota Emas melambangkan kejayaan Kerajaan Siak Sri Indrapura di masanya. Makota ini terbuat dari emas, memiliki lebar 33 cm, tinggi 27 cm, dan berat 1,803,3 gram.
Soal mahkota ini sempat hangat diperbincangkan saat Gubernur Riau Syamsuar dapat kesempatan menyaksikan langsung keindahan mahkota itu di Museum Nasional, Jakarta. Makhkota ini terdaftar di situs cagar budaya Kemendikbud, dengan Nomor Registrasi RNCB.20131227.01.000003 — ditetapkan melalui SK No. 248/M/2013, dan ditetapkan sebagai Cagar Budaya Nasional — di kelola oleh Museum Nasional.
Mahkota Sultan Siak Inderapura merupakan mahkota yang dikenakan oleh raja yang bertahta dari Kesultanan Siak Sri Inderapura berada di Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya, Direktorat Cagar Budaya dan Permuseuman (2016) menyatakan bahwa Mahkota Sultan Siak ini terbuat dari emas dengan bertahtakan berlian dan rubi.
Baluran Permata Bernilai Tinggi
Mahkota emas ini berhiaskan uliran berbentu bunga teratai dengan taburan batu merah delima dan intan. Mahkota ini berhiaskan motif suluran dan bunga yang begitu raya. Di bagian kening mahkota terdapat inskripsi dengan bahasa arab yang berarti ‘mahkota emas’. Inskripsi tersebut dibuat dengan emas tipis yang menyerupai kawat.
Mahkota emas Kerajaan Siak ternyata pernah menjadi agunan untuk modal pendirian Bank Indonesia (BI). Dalam tulisan yang diterbitkan bertuahpos.com, pada 20 Juli 2020. “Mahkota inilah yang pernah dijadikan sebagai angunan (jaminan) pendirian Bank Indonesia (BI),” kata Sekretaris LAM Siak periode 2013-2018 Zulfahri dalam suatu wawancara dengan bertuahpos.com.
Mahkota ini adalah bagian dari harta Sultan Syarif Kasim II yang diserahkan ke Pemerintah Indonesia. Selain mahkota ini, sultan juga menyerahkan 13 juta gulden Belanda, atau setara dengan Rp1,074 triliun. Uang yang sangat banyak di waktu itu, dan mampu menyokong perjuangan Indonesia yang baru merdeka.
Mahkota ini menjadi salah satu ‘persembahan angung’ oleh Sultan Siak — yang ketika itu bertahta — untuk Republik Indonesia. Dalam beberapa literatur, Kerajaan Siak sangat setia pada bangsa ini. Selain mengakui NKRI, Sang Sultan juga tidak ragu mempersembahkan sebagain hartanya untuk negara.
Melawan Benda dengan Cara Elegan
Perlawanan dan sikap ‘kebencian’ Sultan Siak kepada penjahah ketika itu, memang sudah terpatri di dalam benaknya. Tirto.id — dalam laporannya yang diterbitkan pada 23 April 2020 — Sultan Syarif Kasim II yang merupakan Raja Siak ketika itu — dengan cuma-cuma menyumbangkan uang sebesar 13 juta gulden.
Tentu saja itu bukan jumlah yang kecil. Kalau disamakan nilainya dengan saat ini, jumlah itu setara dengan 69 juta euro atau lebih dari 1 triliun rupiah. Segepok uang itulah yang diberikan secara cuma-cuma oleh Sultan Syarif Kasim II kepada Presiden Sukarno.
Sapardi Djoko Damono & Marco Kusumawijaya dalam Siak Sri Indrapura (2005: 71), Sultan Said Ismail (1827-1864), kakek buyut Syarif Kasim II, terpaksa menandatangani Traktat Siak yang isinya sangat menguntungkan Belanda.
Sedari era pemerintahan kolonial Hindia Belanda, Syarif Kasim II sudah menempatkan diri sebagai penentang kaum penjajah. Lahir di Siak Sri Inderapura, Riau, pada 1 Desember 1893, sang sultan memperlihatkan perlawanannya terhadap Belanda melalui cara-cara yang elegan.
Sultan Syarif Kasim II sadar melawan Belanda lewat fisik atau menentang dengan frontal sama saja bunuh diri. Apalagi, Kesultanan Siak Sri Inderapura masih terikat perjanjian yang diteken pendahulunya di masa lampau. (bpc2)