BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Sebuah lokomotif berdiri kokoh di atas tempat yang dibuat khusus di kawasan Marpoyan Damai, Pekanbaru. Lokomotif ini didominasi warna hitam. Di sekitarnya ada pemakaman.
Masih di dalam kawasan itu ada seonggok batu hitam yang bentuknya tidak beraturan. Pada batu ada kalimat tertulis dengan tinta putih, berdiri pada sebuah tempat berjenjang melingkar.
Tidak banyak para milenial yang tahu, Lokomotif dan batu hitam ini adalah monumen, yang menyimpan kisah kelam para romusha, atau pekerja paksa di zaman penjajahan Jepang.
Pada pertengahan 1920-an, sebuah perusahaan kereta api milik Pemerintah Hindia Belanda, Staatsspoorwegen, merancang pembangunan jalur rel yang menghubungkan Pantai Barat dan Timur Andalas.
“Rel yang ada menghubungkan Padang, Padangpanjang, Solok, Sawahlunto dan Muaro, lalu diteruskan hingga Pekanbaru. Namun rencana itu terbentur dana,” seperti dikutip dari Cerita Pilu Korban Kerja Paksa Romusha Jepang, yang diterbitkan Tempo Publishing (2019).
Misi Mengeruk Sumber Daya Alam
Belanda yang merencanakan, Jepang yang mewujudkan. Pengusaha Hindia Belanda (1942-1954) membutuhkan penghubung kedua sisi Swarnadwipa untuk angkut pasukan dan logistik.
Jamie Vincent Farrel, seorang warga Selandia Baru yang tinggal di Riau, meneliti jalur Muaro-Pekanbaru. Dalam buku itu dia mengemukakan, saat perang dunia II, Jepang menguasai Selat Malaka. Namun Samudera Hindia di ada digenggaman tangan sekutu.
Batubara Sawahlunto menjadi tidak berarti, sebab proses pengangangkutan hanya bisa dilakukan melalui Pelabuhan Teluk Bayur di Padang.
“Tujuan lain adalah sumber batu bara di Petai, Kuantan Singingi, Riau, sekitar 90 kilometer di bagian Selatan Pekanbaru. Jepang berhasil mengangkut 180 ribu ton batubara dalam 18 bulan,” ujarnya.
Ribuan Jiwa Jadi Korban
Para Romusha didatangkan untuk membangun rel kereta api, sebagai sarana transportasi pengangkut logistik dan batubara. Para pekerja paksa banyak didatangkan dari Jawa.
Menurut sebuah penelitian yang diterbitkan oleh Direktorat Jendral Kebudayaan berjudul; Sejarah Kebangkitan Nasional di Riau, tidak dapat diketahui pasti berapa jumlah romusha yang dilibatkan dalam proyek mematikan ini. Namun menurut perkiraan umum, jumlahnya tidak kurang dari 100 ribu orang.
Jepang mengklaim bahwa mereka adalah pekerja sukarelawan. Namun pada praktiknya, mereka dijadikan pekerja paksa.
Di Riau, tenaga mereka dipakai untuk membangun rel kereta api, yang membelah hutan melalui Logas menuju Sijunjung, Sumatera Barat. Sepanjang jalur itu didirikan bedeng-bedeng, sebagai tempat pemusatan tenaga romusha.
Mereka dipaksa bekerja melebihi batas waktu dan kemampuan, tidak lagi diperlakukan layaknya manusia, tapi seperti hewan. Tenaga yang mereka keluarkan tak seimbang dengan hasil yang mereka dapatkan.
Makanan yang diberikan kepada mereka dicampur dengan dedak atau pasir. Tidak sedikit yang melarikan diri di tengah hutan, namun sebagian besar dari mereka ditemukan mati di tengah jalan.
Selain karena fisik yang sudah rusak — seperti kerangka berjalan — ada juga yang mati kelaparan atau diserang binatang buas.
“Peristiwa tragis ini membuat Logas dikenal dengan sebutan ‘Neraka Bikinan Jepang’. Banyak pula romusha itu tewas saat dinamit diledakkan. Ada yang terjatuh ke jurang, terhimpit batu, ada pula yang sengaja diledakkan dengan dinamit,” tulis penelitian itu.
Mereka yang disebut Kinrohisyi
Mereka yang disebut Kinrohisyi tidak lain adalah romusha lokal, yang didatangkan dari daerah Pasir Pangaraian (kini Ibu Kota Kabupaten Rokan Hulu – Red), dan dari Kerajaan Lima Koto Rokan, diwajibkan bekerja untuk membangun jalan baru dadi Dalu-Dalu hingga Kota Pinang, Sumatera Utara.
Sebagian lainnya dikerahkan untuk bekerja di lapangan terbang Simpang Tiga (kini Marpoyan Damai, Pekanbaru).
Ada juga yang dipekerjakan di Rantau Berangin dan Danau Bingkuang (Kampar), untuk membuat jembatan dan pabrik kapal di kawasan Tampan Pekanbaru (populer dengan sebutan panam).
Dalam penelitian ini juga mengungkap bahwa di sebidang makam di kawasan Simpang Tiga Pekanbaru dikubur ribuan pekerja romusha.
Tugu Lokomotif yang didirikan di makam itu pada 10 November 1978, merupakan saksi bisu kekejaman Jepang terhadap mereka yang dijadikan budak pekerja paksa. Setiap peristiwa kisah kelam para romusha, seolah terekam dengan sangat rapi. Monumen ini juga menjadi bentuk penghormatan kepada arwah-arwah mereka. (bpc2)