BERTUAHPOS.COM — Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) perbankan mencatat kenaikan signifikan pada September 2024, mencapai 9,13%, naik 34 basis poin (bps) dari bulan sebelumnya. Angka ini menjadi level tertinggi sejak Januari 2021, ketika SBDK berada di 10,03%.
Lonjakan ini terutama disebabkan oleh kenaikan biaya overhead dan upaya bank mempertahankan margin keuntungan di tengah likuiditas pasar yang semakin ketat.
Bank Indonesia (BI) dalam asesmen terbarunya mencatat bahwa kenaikan SBDK didorong oleh tiga komponen utama; Harga Pokok Dana untuk Kredit (HPDK), biaya overhead (OHC), dan margin keuntungan.
Kenaikan terbesar terjadi pada biaya overhead, terutama untuk tenaga kerja serta promosi dan pemasaran, yang banyak dilakukan oleh bank BUMN dan swasta nasional.
Faktor Pemicu Kenaikan SBDK
Pada September, biaya overhead bank meningkat sebesar 16 bps menjadi 3,25%, tertinggi sejak 2022. Sementara itu, HPDK turun tipis 4 bps menjadi 3,67%, meski bunga Dana Pihak Ketiga (DPK) rupiah masih menunjukkan kenaikan.
Kenaikan overhead terutama disumbang oleh bank BUMN (34 bps) dan bank asing (9 bps). Menurut BI, perbedaan ini dipengaruhi oleh strategi operasional masing-masing bank, termasuk manajemen tenaga kerja.
Kenaikan margin keuntungan juga tercatat signifikan, yaitu 22 bps dibanding bulan sebelumnya. Bank BUMN mengalami kenaikan terbesar, mencapai 55 bps menjadi 2,18%.
BI menjelaskan, kenaikan ini adalah dampak tunda dari kenaikan biaya dana sebelumnya yang belum terefleksi pada SBDK.
Meski SBDK meningkat, BI mencatat adanya penurunan rata-rata bunga kredit pada Oktober 2024 sebesar 3 bps. Penurunan ini disebabkan oleh tren penurunan bunga kredit baru, terutama pada bank asing, yang mencapai 80 bps pada kuartal III-2024.
Penurunan bunga kredit juga terlihat di sektor prioritas yang mendapat insentif Kebijakan Likuiditas Makroprudensial (KLM), seperti konstruksi dan perumahan rakyat.
Namun, beberapa sektor prioritas seperti perdagangan, pertanian, industri pengolahan, konstruksi, dan UMKM masih menghadapi tingkat kredit bermasalah (NPL) yang lebih tinggi dari rata-rata. Segmen UMKM, khususnya, mencatat bunga kredit lebih tinggi akibat risiko kredit yang besar.
Kondisi likuiditas perbankan terus mengetat akibat instrumen tenor pendek seperti Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). SRBI, yang dirancang untuk menarik dana asing, menawarkan imbal hasil tinggi namun memicu fenomena crowding out, di mana dana dari pasar obligasi dan saham tersedot ke instrumen ini.
Per 18 November, kepemilikan asing di SRBI turun menjadi 25,82% dari sebelumnya 27,23%, sementara kepemilikan lokal naik menjadi Rp718,64 triliun. Situasi ini mempersulit likuiditas di pasar uang antarbank dan memaksa bank menghadapi dua pilihan sulit: menekan margin keuntungan untuk bersaing atau menaikkan bunga kredit, yang akan berdampak negatif pada sektor riil.
Kenaikan SBDK dan ketatnya likuiditas diprediksi terus memberikan tantangan bagi perbankan dan pelaku ekonomi. Di satu sisi, bank harus menjaga profitabilitas, namun di sisi lain, kenaikan bunga kredit berpotensi menghambat pemulihan sektor riil, terutama bagi sektor prioritas dan UMKM yang sangat membutuhkan akses pembiayaan yang lebih terjangkau.***