BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – DPRD Riau kini tengah disibukkan dengan kerja merevisi Perda Nomor 4 tahun 2015 tentang Pajak Bahan Bakar Umum. Bagian yang akan direvisi yakni soal angka pajak sebesar 10% karena ini merupakan beban pajak tertinggi jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia.
Desakan agar merevisi Perda itu setelah muncul gejolak dari masyarakat karena BBM jenis pertalite terkena imbas cukup besar. Ketika PT. Pertamina (Persero) menetapkan kenaikan harga, maka harga pertalite juga melambung.Â
Soal pajak BBU (Bahan Bakar Umum) ini mendapat respon dari Branch Manager Pertamina Sumbar-Riau Pramono Wibowo. Dia menjelaskan memang sejak awal hadirnya produk pertalite untuk sasaran kaum masyarakat menengah.Â
“Pertalite itu termasuk jenis bahan bakar umum yang harganya tidak diatur langsung oleh pemerintah, tapi melalui badan usaha dalam hal ini Pertamina. Karena badan usaha lain juga punya jenis produknya masing-masing,” ujarnya, Sabtu (10/2/2018) di Pekanbaru.Â
Untuk jenis BBM umum harganya sangat terpengaruh pada pergerakan harga minyak dunia. Karena tak ada subsidi, dan bisa disesuaikan setiap saat. Pada saat pertalite dihadirkan oleh Pertamina sasarannya adalah segmen masyarakat menengah. Pada saat uji pasar pertama sudah diprediksi bahwa produk ini akan banyak konsumsi masyarakat.Â
“Sehingga kami mengusahakan bahwa harga pertalite itu tidak ada disparitas (jarak harga) yang cukup tinggi. Dan memang jika pajak bahan bakar kendaraan bermotor (BBKB) sama di setiap daerah, maka harganya sudah pasti sama,” ujar Pramono.Â
Baca:Â Selain Premium, Boleh Kok Beli BBM Pakai Jerigen di SPBU
Namun dalam realisasi, bahwa setiap daerah malah menetapkan BBKB yang berbeda. Ada 5%, 7,5% dan 10%. Di Riau sendiri memberlakukan pajak BBKB sampai 10%. Inilah menjadi terdapak terhadap strategi penetapan harga pertalite di masing-masing daerah. Dimana hampir seluruhnya adalah konsumen ritel.Â
“Atas dasar kondisi demikian kami membuat disparitas bertingkat kurang lebih jaraknya sekitar Rp200 per kategori pajak. Misal dari 5% ke 7,5% jaraknya harganya Rp200. Termasuk dari 7,5% ke 10% itu jarak harganya juga Rp200,” katanya.Â
Strategi demikian sengaja dilakukan untuk mengantisipasi masalah seperti yang dihadapi Riau soal pajak BBU saat ini. Supaya jika ada kenaikan harga, jaraknya tetap sama Rp200. Dalam kondisi harga minyak dunia tinggi, maka perlu dijaga pada disparitas sama.Â
“Tapi karena pajak BBKB-nya berbeda, maka terjadilah perbedaan harga dan masyarakat merasa begitu tinggi. Padahal jika dikaji hitungan memang disparitasnya hanya Rp200 saja,” sambung Pramono.Â
Selanjutnya, mengapa disparitas harga harus tetap dijaga?
“Soalnya, kalau harganya tetap naik kami mengkhawatirkan ada lonjakan pergeseran dari premium ke pertalite. Kalau pergeseran ini terlalu besar, maka respon penyedia BBM-nya juga mendadak, dikhawatirkan akan terjadi kelangkaan,” sambungnya.Â
Dia menambahkan, saat ini Pertamina punya angka target serapan konsumsi masyarakat terhadap bahan bakar umum. Kalau ada lonjakan diman (permintaan) yang tinggi, dikhawatirkan realisasi konsumsi masyarakat terhadap BBM tidak terbaca dan berimbas pada kelangkaan bahan bakar.Â
Memang diterima masyarakat adalah harga akhir, oleh sebab itu terlihat angka yang terlalu tinggi, misal untuk pertalite untuk di Riau saat ini berada diharga Rp8 ribu per liter. Harga ini sebenarnya sudah masuk dalam potongan pajak BBKB dan PPn. (bpc3)Â