BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Hilangnya situs cagar budaya Mesjid Nur Alam, di Kecamatan Senapelan Pekanbaru Riau memang punya polemik panjang.
Ormas bahkan perorangan dari masyarakat Melayu di Riau yang protes bahkan melakukan gugatan namun tidak ada respon sama sekali. “Selama ini yang ribut saya sendiri. Seharusnya masyarakat Melayu ikut memperjuangkan ini,” kata Budayawan Riau, Anas Aismana.
Menurut Undang-Undang Cagar Budaya, barang siapa dengan sengaja merubah atau merusak benda Cagar Budaya, akan dihukum 7 tahun penjara dan denda Rp10 miliar. Revitalisasi mesjid itu ternyata menglihangkan seutuhnya bentuk asli Mesjud Nur Alam.
Namun sepertinya proses hukum mandul. Buktinya tidak ada yang merespon apalagi pemproses secara hukum.
Surat Keputusan Gubernur Riau Nomor KPTS.1052/II/2008 tanggal 28 Februari 2008 memuat susunan keanggotaan badan pembina pada badan revitalisasi kawasan Masjid Nur Alam itu.
Baca: Pergub Tentang Revitalisasi Masjid Nur Alam Ternyata Belum Dicabut
Secara jabatan ketuanya adalah Walikota Pekanbaru, dengan wakil ketua dijabat oleh Bupati Siak. Sedangkan anggotanya yakni dari Ketua LAM Riau, Ketua LAM Pekanbaru, Bupati Bengkalis, Bupati Pelalawan, Bupati Rohil, Bupati Kampar, Pengetua Kekerabatan Resam Kerajaan Siak, Alm Tenas Efendi, Marwan Awal, Zulkifli Saleh, dan Teguh Indar Madji.
Sedangkan susunan badan keanggotaan pelaksana pada badan revitalisasi ini, yakni Nasrun Effendi, Irasman Idris, Bukhari Mahmud, Zulkifli Rachman dan Syaifuddin Effendi.
Lembaga/instansi dan orang-orang ini seharusnya bertanggungjawab atas hilangnya situs cagar budaya ini. Nama itu ditemukan dalam Pergu Nomor 34 tahun 2007 dan saat ini masih berlaku.
“Yang menjadi persoalan kenapa harus dihancurkan? Menurut Undang-Undang Cagar Budaya, barang siapa dengan sengaja merubah atau merusak benda Cagar Budaya, akan dihukum 7 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar,” terang Anas Aiman.
Dia mengatakan masalah ini sudah pernah dilaporkan ke Polda Riau saat Masjid Raya Pekanbaru akan dihancurkan.
“Sebenarnya dulu saya sudah pernah melaporkannya, tapi tidak pernah ditanggapi,” ungkap Anas Aismana.
Kini, semuanya seolah lepas tanggung jawab. Penyelesaian pembangunan mesjid itu juga mangkrak. Belum tahu bagaimana babak akhir dari situs cagar budaya ini, apakah pemerintah masih ingin menyelamatkan atau tidak. (bpc3)