BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Sejumlah orang-orang penting duduk dalam suatu ruangan kecil di Kantor DPW PKS Jalan Soekarno Hatta, Pekanbaru, Rabu, 18 September 2019. Mereka duduk disebuah meja memanjang dengan monitor besar di dinding, persis pada baguan ujung meja itu. Mereka membahas lebih rinci soal Karhutla dan asap yang saat ini memapar Riau dengan menghadirkan beberapa pakar dan perwakilan lembaga.
Pertemuan yang digagas oleh DPW PKS ini mengupas akar masalah Karhutla dari berbagai sisi. Terutama dari sisi hukum, ekonomi dan politik yang pada prinsipnya, bahwa akar masalah sudah terdeteksi ada indikasi permainan mafia perkebunan dalam skala besar, terorganisir dan masif.
“Sebelumnya sudah pernah terungkap ada banyak perusahaan-perusahaan perkebunan di Riau yang beroperasi di luar izinnya, atau berada di kawasan hutan,” kata Wakil Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) Okto Yugo Prasetyo dalam forum itu.
Dia menilai, dalam ketentuannya, lahan-lahan perkebunan yang ditanami melebihi HGU stasusnya harus dikeluarkan atau dihapus (diputihkan). Kewenangan ini merupakan tugas dan tanggung jawab dari kementeria terkait dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Pertanyaannya, kenapa Karhutla ini terulang terus. Kalau dilihat dari sisi hukum saya rasa sudah lebih dari cukup ada banyak Undang-Undang. Tapi kok bisa berulang. Dari segi struktur hukum juga demikian, polisi dan lainnya juga sudah mendapat intruksi secara jelas. Apakah infrastrukturnya? Saya juga nggak tahu,” kata seorang dosen hukum dari Unri, Mukhlis.
Dalam kacamatanya, dalam kasus hukum bahwa sanksi yang paling ringan jika korporasi melakukan sebuah tindakan melawan hukum yakni sanksi administrasi. Namun faktanya hari ini, jangankan untuk menindak pelaku Karhutla ke ranah pidana, pada tahapan sanksi administrasi saja tidak bisa berjalan dengan baik.
“Kalau sanksi paling ringan ini tidak bisa, apalagi sanksi pidana. Kalau memang perangkat hukum yang selama ini berada di depan kemudian sulit pembuktiannya, coba bergerak dari belakang. Setelah lahan terbakar tumbuh sawit, itukan bisa diinvestigasi dan ditelusuri keterlibatannya,” ungkapnya.
Dia menambahkan, kemauan dari pemerintah bekerjasama dengan penegak hukum diyakini mampu mengkungkap persoalan karhutla dengan menggunakan strategi ini. “Hanya saja berani nggak?” ungkapnya. Selama ini yang dihukum pihak atau individu suruhan yang menjadi korban janji kesejahteraan.
“Selama inikan keroco-keroco yang disuruh bakar lahan, yang nggak tahu apa-apa, itu yang ditangkap. Yang menikmati keuntungan dari dampak yang kita rasa ini belum tersentuh sama sekali. Kedepan ini tugas Pemda untut menyentuh intelektualnya. Perlu komitmen legislatif juga untuk mendorong ini. Jangan takut dengan ancaman PHK dan memindahkan investasi,” sambung Mukhlis.
Pakar lingkungan dan cendikiawan Riau, Elviriadi juga mengomentari soal 4,2 juta hektar lahan gambut dimana 77% diantaranya telah dialih fungsikan dan itu jelas melanggar Undang-Undang. Kebakaran lahan dan hutan terjadi karena gambut diusik dimana lahan ini punya satu kesatuan yang harus dijaga secara berkelanjutan.
“Sedikit saja dirusak, rusak semuanya. Nah, sekarang kita lihat sudah berapa luas gambut Riau dirusak oleh korporasi. Jadi menurut saya kalau akar masalah ini tidak diatasi, ya asap akan terus terjadi kedepan,” sebutnya.Â
Sementara itu, dari sisi kecepatan dan akurasi informasi yang seharusnya diperoleh masyarakat bisa diakses secara mudah agar masyarakat bisa mengambi keputusan dalam situasi dan kondisi berbahaya seperti yang terhadi di beberapa daerah di Provinsi Riau saat ini.Â
Wakil Sekretaris Tim Satgas Siaga Bencana, dari Universitas Riau, Eka Ermas mengungkapkan pihak kampus mereka sudah punya tim riset yang bekerja secara berkelanjutan atas setiap informasi mengenai Karhutla di Provinsi Riau.Â
“Aksi lapangan LPPM kita punya banyak tenaga riset untuk Karhuta. Kami juga sudah punya banyak menyusun rencana terkait ini, namun memang untuk eksekusinya ada di eksekutif. Kami juga menyediakan banyak data dan informasi dari hasil riset-riset yang sudah pernah dilakukan sebelumnya,” katanya.Â
Eka meyakini bahwa upaya sosialisasi kepada masyarakat terutama dalam lingkup pendidikan memang perlu didukung dengan literatur yang akurat. Tugas ini juga sudah diamanahkan oleh pemerintah terutama kepada tim Satgas Karhuta kepada masyarakat di daerah-daerah rawan terbakar.Â
“Kalau edukasi kami ada tambahan ilmiahnyalah, misalnya sosialisasi ke sekolah ada buku pegangannya yang lengkap sesuai dengan hasil riset yang sudah kami lakukan,” sambungnya.Â
Rekomendasi
Pertemuan ini kemudian menghasilkan beberapa rekomendasi, pertama, akar masalah Karhuta di Riau berada pda sektor ekonomi. Hal ini yang membuat banyaknya investasi oleh korporasi tertarik untuk mengelola kawasan hutan dengan visi keuntungan.
Sehingga Karhutla menjadi strategi politis untuk mendapatkan keuntungan btersebut. Solusinya people power yang dikomandoi oleh publik pigur yang mengerti dan berani tampil kedepan.
Kedua, perbaiki politik anggaran pemerintah yang harus pro dengan restorasi gambut, bahkan jika perlu dibentuk Orgnisasi Perangkat Daerah OPD tersendiri untuk mengurus soal restorasi gambut.
Ketiga, legislatif yang mewakili rakyat harus menolak RUU Pertanahan, minimal pengesahan nyaa ditunda. Hal ini menimbang keberadaan RUU itu memberi dampaaak langsung kepada masyarakat dan menguntungkan pihak-pihak tertentu.
Keempat, tinju kembali RTRW Riau sebab dalam Perda tersebut tidak memuat perlindungan gambut secara khusus. Jika tetap dilanjutkan maka sama saja dengan memberi ruang kepada korporasi untuk menggarap secara luas hutan dan lahan di Riau.
Kelima, perlu ada pemberdayaan Masyarat dengan menyediakan rumah singgah terutama di lingkungan sekitar masyarakat di daerah yang rawan terdampak asap akibat Karhutla.
“Forum ini adalah bagian dari kepedulian kita bersama terhadap apa dan bagaimana langkah-langkah kedepan,” kata Ketua DPW PKS Riau, Hendry Munif. (bpc3)