BERTUAHPOS.COM (BPC), SIAK– Menghidupi anak dan keluarga, tak punya tempat selain bertahan hidup di kampung 40 inilah kisah dari warga Sidodadi atau biasa disebut kampung 40. Sudah ada sejak tahun 2008 silam, warga sudah terbiasa berjalan kaki berpuluh kilo untuk membeli kebutuhan sehari-hari.
Hal itu dilakukan karena keterbatasan akses transportasi. Itulah cerita singkat para warga yang ada di kampung 40.
Baca juga : Nasib kampung 40 yang terancam musnah
Seperti diketahui, kawasan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil telah ditetapkan UNESCO tahun 2009 sebagai hutan cagar biosfer, dan kini kawasan cagar terambah secara besar-besaran.
Sedangkan keberadaan Kampong Sidodadi atau kerap disebut kampong 40 yang berada didesa Buantan besar kecamatan Siak yang disebut sebagai perambah cagar tersebut sudah ada sejak tahun 2008. Ada pun Fasilitas yang telah didirikan swadaya masyarakat di kampung itu telah berdiri 1 sekolah, 2 mushola dan 1 gereja. (Baca: Ditanya Nasib Kampung 40, Bupati Siak Marah-Marah!)
“Kami di sini cuma bertahan hidup, berladang keluar untuk menghidupi keluarga dan anak, kalau kami harus pindah, kami mau tinggal di mana, kampung sudah tidak punya,” kata Usman salah satu warga kampung 40 saat bertuahpos.com temui.
Tidak memiliki kampung halaman, hal itulah yang membuat warga kampung 40 bertahan. “Ya kami harap bisa diperhatikan, kampung tidak ada, rumah juga tidak ada, cuma inilah yang kami ada buk, “sambungnya dengan mata berkaca-kaca.
Lanjut, ia bercerita sewaktu mendengar kampungnya akan digusur, bimbang dan jatuh sakit ia rasakan. (Baca: Dibalik Kisah Perambahan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil)
“Pas denger mau digusur, saya bingung buk, sampai jatuh sakit mikirin mau tinggal dimana, kampung tidak punya, anak dan istri saya bagaimana nantinya, mereka juga butuh sekolah, ya walau sekolah kami seadanya, tapi anak masih bisa belajar,”ungkap Usman yang mengenakan baju abu-abu lusuh dan memakai topi.
Masyarakat berharap adanya keadilan dan kejujuran mengenai tapal batas, dan jika memang mereka berada di kawasan zona inti atau penyanggah yang tidak diperbolehkan untuk ditinggali, besar harapan warga untuk bisa mendapat perhatian pemerintah.
“Kami binggung buk, mau tinggal dimana kami nanti, kampung sudah tidak ada, inilah harapan kami satu-satunya, rumah yang kami tinggali saat inilah yang kami punya,” sebutnya lagi.
Pengukuran sudah dimulai sejak Rabu kemarin (21/9/2016) hingga saat ini sedang dilakukan. Masyarakat hnaya berharap keadilan dan kejujuran.
Di sisi lain, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lira Siak dan juga PLPR Siak yang saat itu ikut mendampingi Komnas HAM berharap Pemerintah harus lebih bijak dan arif dalam mengambil keputusan.
“Pengukuran dan keputusan nantinya diharap pemerintah lebih bijak dan arif, ini mengenai hidup manusia, hidup masyarakat, bukan masalah orang siak atau bukan,” sebut Dedi selaku bupati Lira Siak.
Lanjut, Aziz selaku ketua PLPR Siak mengatakan, program lanjutan harus ada. “Apakah tindakan selanjutnya, jika masyarakat tidak boleh, mereka akan di mana ini yang masih kami pertanyakan,”terangnya.
Menanggapi hal itu, Komnas HAM Siti Nurlaila mengatakan akan dilakukan rapat lanjutan bersama pemerintah. “Kita akan buat dan diskusikan program lanjutnya, saat ini kita lihat dulu dimana titik koordinat masyarakat berada,” tungkasnya.
Penulis : Ely