BERTUAHPOS.COM — Kurang bayar rill Dana Bagi Hasil (DBH) untuk Pemprov Riau dan 12 kabupaten/kota di Riau mencapai Rp1,66 triliun. Berdasarkan data dari budgetary facts PMK 86/2024 dan KMK 44/2024, total kekurangan bayar riil untuk Provinsi Riau saja, mencapai Rp274,94 miliar.
Adapun daerah dengan kurang bayar rill DBH terbesar adalah Kabupaten Bengkalis. Nilainya mencapai Rp553,38 miliar. Sedangkan Kabupaten Kepulauan Meranti sebesar Rp39,46 miliar, dan menjadi daerah dengan nilai kurang bayar DBH paling rendah.
Selanjutnya Kabupaten Rokan Hilir, jumlahnya mencapai Rp180,41 miliar, Kabupaten Siak Rp167,93 miliar, Kabupaten Pelalawan Rp66,78 miliar, Kabupaten Rokan Hulu Rp44,54 miliar, Kabupaten Indragiri Hulu: Rp43,92 miliar, Kota Pekanbaru Rp42,97 miliar dan Kota Dumai Rp82,16 miliar.
Asisten II Setdaprov Riau, M Job Kurniawan, enggan memberikan tanggapan terkait rincinan nominal angka tersebut. “Kami belum bisa berkomentar sebelum tahu angka pastinya,” ujarnya saat dikonfirmasi di Kantor Gubernur Riau, pada 10 Februari 2025.
Job mengatakan, Pemprov Riau telah meminta Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) untuk memastikan jumlah pastinya. Pada 12 Februari 2025, Pemprov Riau berencana menggelar rapat guna membahas lebih lanjut besaran kurang bayar yang akan diterima.
Pengamat kebijakan anggaran, Triono Hadi, menilai bahwa kebijakan pemerintah pusat terkait pemangkasan kurang bayar DBH dengan alasan efisiensi dinilai tidak tepat dan merugikan daerah.
“Terutama wilayah penghasil pajak dan sumber daya alam (SDA) yang besar. Kebijakan ini menunjukkan kecenderungan pemerintah pusat lebih memprioritaskan belanja pusat dibandingkan dengan menyalurkan hak daerah. Selain itu, tidak ada transparansi mengenai alokasi dan penggunaan realokasi dana hasil pemangkasan tersebut,” katanya.
Menurut data yang dirilis melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 201 Tahun 2024, alokasi kurang bayar DBH dalam APBN 2024 ditetapkan sebesar Rp27,8 triliun. Namun, jumlah tersebut masih jauh dari total kewajiban pemerintah pusat dalam mentransfer kurang bayar DBH ke daerah.
Kementerian Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 89 Tahun 2024 mengungkapkan bahwa hingga akhir 2023, total kurang bayar DBH mencapai Rp56,2 triliun, sementara lebih bayar DBH ke daerah hanya sebesar Rp13,6 triliun. Dengan demikian, utang kurang bayar DBH riil pemerintah pusat ke daerah mencapai Rp42,5 triliun, belum termasuk potensi kurang bayar pada tahun 2024.
Pada tahun 2024, pemerintah melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 44/2024 hanya mampu menyelesaikan kurang bayar DBH sebesar Rp13,2 triliun atau sekitar 31% dari total utang kurang bayar hingga 2023. Hal ini menyisakan utang kurang bayar DBH sebesar Rp33,2 triliun, di luar perhitungan untuk tahun 2024.
Salah satu sektor yang menjadi sasaran efisiensi dalam kebijakan ini adalah pemangkasan kurang bayar DBH, baik dari pajak maupun bukan pajak (DBH SDA).
Berdasarkan telaah PMK 86/2024 dan KMK 44/2024, tercatat kebijakan ini berdampak signifikan terhadap daerah penghasil pajak dan SDA terbesar, seperti Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, DKI Jakarta, dan Riau.
“Sebanyak 87% dari total utang kurang bayar DBH berada di enam provinsi tersebut, sementara sisanya tersebar di provinsi lainnya,” ujar mantan Koordinator Fitra Riau itu.
Menurutnya, kebijakan pemangkasan kurang bayar DBH ini dinilai harus dikaji ulang. Daerah seharusnya memiliki hak untuk menolak kebijakan ini karena berpotensi menghambat pembiayaan pembangunan di daerah.
Dia menyebut, dalam konteks hubungan keuangan antara pusat dan daerah (HKPD), DBH memiliki perbedaan mendasar dibandingkan dengan jenis dana transfer lainnya, seperti Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Insentif Daerah (DID).
DBH merupakan bagian dari pendapatan daerah yang bersumber dari penerimaan negara yang dihasilkan di wilayah tersebut, sesuai dengan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah.
“Dengan demikian, penyaluran DBH seharusnya tidak bergantung pada kondisi keuangan negara, melainkan wajib diberikan kepada daerah berdasarkan proporsi yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Keterlambatan penyaluran DBH hanya dapat dibenarkan dalam kondisi darurat,” ujarnya.
Selain itu, kata Triono Hadi, kebijakan ini dinilai tidak transparan karena pemerintah pusat tidak memberikan penjelasan rinci mengenai penggunaan dana hasil pemangkasan tersebut. Meskipun alasan efisiensi disebutkan sebagai dasar kebijakan, tidak ada kejelasan mengenai tujuan konkret dari realokasi dana tersebut.
“Di sisi lain, pemerintah justru memperbesar struktur pemerintahan, yang berpotensi menyebabkan pemborosan anggaran,” tuturnya.
Selain itu, Triono menilai bahwa kebijakan pemangkasan kurang bayar DBH juga berdampak pada ketidakpastian keuangan daerah. Sebagian besar daerah di Indonesia sangat bergantung pada dana transfer dari pusat untuk membiayai program pembangunan.
Ketidakpastian dalam penyaluran DBH dapat menyebabkan penundaan pembayaran terhadap proyek-proyek yang telah selesai, sehingga merugikan masyarakat dan kontraktor lokal.
Dia menyebut, langkah efisiensi anggaran memang diperlukan untuk memperbaiki tata kelola keuangan negara. Namun, strategi yang digunakan seharusnya tidak mengabaikan hak-hak daerah yang telah diatur dalam undang-undang.
“Efisiensi anggaran seharusnya lebih fokus pada pengawasan ketat terhadap belanja pusat dan daerah, dengan memastikan setiap anggaran yang dikeluarkan benar-benar berdampak pada ekonomi dan kesejahteraan masyarakat,” kata Triono.
Selain itu, kebijakan efisiensi juga harus diimbangi dengan upaya peningkatan penerimaan negara dari sektor-sektor yang selama ini masih mengalami kebocoran. Dengan demikian, pemerintah dapat memperbaiki kondisi fiskal tanpa harus mengorbankan hak-hak daerah yang telah dijamin dalam peraturan perundang-undangan.***