BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Kasus ratusan hektare lahan terbakar di Rohil dianggap sebagai bukti nyata kalau masalah Karhuta di Riau selalu menjadi sesuatu yang tidak diprioritaskan atau kalah prioritas.Â
“Kembali terbakarnya lahan dan hutan (Karhutla) di Riau menunjukkan bahwa negara belum serius memprioritaskan problem tahunan ini sebagai agenda terdepan,” kata pakar lingkungan DR. Elviriadi.Â
Dia menambahkan, saat ini masalah Karhutla terulang lagi terutama di Rohil sebanyak 1000 hektare, di Inhu juga gambut membara belum reda. Artinya, lahan kritis belum didata dan ditangani sehingga menyala dimana-mana.Â
Seharusnya, menurut Elviriadi, pemerintah pusat, BRG (Badan Restorasi Gambut) dan Pemda bergerak massif revolusioner me-recovery gambut kritis. Data-data desa rawan bencana, lahan lahan kritis sebaiknya sudah tersedia (teregistrasi) di Kantor Penghulu (Kades) setempat, lalu dirancang pemulihannya.
“Dari luas gambut Riau 4.3 juta hektaer, sebanyak 70% sudah dibebani izin, 12% milik masyarakat, dan sisanya 18% menjadi lahan kritis (rusak) berupa semak belukar yang mudah terbakar. Itulah ‘bom molotov’ yang sedang mengepung Riau,” kata Ketua Departemen Perubahan Iklim Majelis Nasional KAHMI ini.Â
Sebelum terlambat ada setidaknya 3 langkah yang dapat dilakukan. Pertama, Badan Restorasi Gambut (BRG) dan Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) seyogyanya ‘bermarkas’ dan betah tinggal di desa-desa. Lakukanlah pendekatan sosiologis agar program BRG di pahami orang kampung.
“Saya dengar Pak Nazir Foead udah merubah penetapan Desa Peduli Gambut (DPG) yang kemarin kurang tepat sasaran, ini langkah awal,” sebutnya.Â
Kedua, Bupati/Walikota memanggil seluruh Kades/Kepunghuluan untuk mendata lahan kritis rawan terbakar agar dipulihkan. Lakukanlah revegetasi, penanaman pohon, monitoring ketat. Dan langkah ketiga adalah, pemerintahan harus membuktikan Karhutla itu prioritas. Harus ada sense of crisis.Â
“Selama ini BPBD kurang didukung Setker yang lain. Yang agak lucu, sudah status Siaga Darurat, tapi langkah kedaruratan tidak kelihatan. Tidak massif dan terstruktur. Dinas lain dan kepala daerah tenang tenang aja,” ujar pria yang biasa disapa Elv ini.Â
Dia menjelaskan, jadinya Karhutla itu seperti orang sakit gigi, ketika sakit baru meng-aduh dan ingat obat. Dengan pendekatan “sakit gigi” semacam itu, saya kira potensi asap dan kebakaran masih sangat besar di Sumatera dan Kalimantan. Bahkan bisa terulang seperti tahun-tahun asap 1998-2015 yang lalu.
“Doktrin dan perintah “padamkan api” tapi menutup mata terhadap aktor intelektual sumber api itu menyesatkan, terutama bagi pribumi melayu yang selalu dikambinghitamkan,” sambungnya. (bpc3)