Oleh :Alaiddin Koto
Ada yang bertanya, kenapa kok sulit sekali bangsa ini bersatu? Padahal, seruan untuk itu, agar bangsa Indonesia, terutama umat Islam sebagai penduduk mayoritas, meningkatkan dan menjaga persatuan sudah lama didengungkan.
Seruan itu, akhir-akhir ini semakin dikencangkan setelah menyadari semakin besarnya ancaman terhadap keutuhan dan keberlangsungan hidup bangsa dan negara ini di masa depan. Di manapun dan diberbagai kesempatan apapun, seruan tersebut terus di kumandangkan di setiap kesempataan tanpa henti, tetapi sampai hari ini yang terjadi justru sebaliknya.
Perpecahan semakin menganga. Hubungan antar sesama warga bukan semakin dekat, tapi justru semakin renggang, ada-ada saja penyebabnya. Ada yang tersebab perbedaan pilihan politik, persoalan perbedaan aliran dalam beragama, persoalan-persoalan yang menyangkut kesukuan, bahkan akhir-akhir ini juga karena perbedaan persepsi dalam menyikapi virus corona yang sedang mewabah. Semua ini semakin mempersulit wujudnya persatuan itu.
Kepada siapa harusnya kita bertanya untuk mencari jawaban yang benar, kenapa kita terus dan terus saja berpecahbelah, sementara musuh dan bahaya semakin mendekat. Apa yang menjadi penyebabnya dan bagaimana jalan keluarnya agar bangsa ini kembali bersatu seperti dulu ketika didirikan oleh para pendiri bangsa. Baca juga: Akan Bubarkah NKRI?
Dalam sebuah tulisan sebelumnya, penulis mengatakan bahwa tidak ada tempat bertanya yang paling tepat selain kepada yang telah mencipta kita sebagai manusia, yaitu Allah, dan kepada hati dimana “bisikan” Allah ada di dalamnya. Allah yang lebih tahu kenapa kita seperti ini, dan hati nurani kita yang akan membisikkan supaya kita bertanya kepada Sang Maha Pencipta itu tentang solusi apa yang harus dilakukan.
Khusus untuk semua hambaNya yang beriman, Allah berkata bahwa semua orang beriman bersaudara. Kepercayaannya kepada Allah sebagai Pencipta dan sebagai Pembuat aturan hidup yang sesungguhnya, semua orang beriman mempunya titik temu untuk bersatu di kayakinan itu, dari aliran manapun mereka berada, bahkan dari agama apapun mereka menjadi umatnya.
Pokoknya ada titik yang bisa mendijadikan mereka bertemu di titik itu, walau syariatnya berbeda. Yang tidak akan bisa bertemu adalah bila satu pihak percaya kepada Allah dengan segenap aturan yang datang dariNya, satu pihak lagi justru tidak percaya samasekali akan hal itu.
Khusus untuk bangsa Indonesia yang percaya kepada Tuhan dengan segala kemahakuasaaNya, terutama sekali yang menjadi penduduk mayoritas di negeri ini, yaitu umat Islam, persatuan itu seharusnya bisa diwujudkan tanpa susah payah. Namun, kenapa tidak juga wujud, walau di mana-mana tempat dan kesempatan, dan oleh semua tokoh dan kalangan, selalu dihimbaukan dengan berbagai cara dan media.
Untuk menemukan jawaban tersebut, penulis fikir perlu didalami lagi firman Allah dalam surat al-Hujurat, ayat 10-13, dan dalam surat al-Maidah ayat 8. Dalam lima ayat di dua surat ini terkandung enam syarat untuk bisa bersatu yang sekaligus juga dapat dipahami sebagai penyebab runtuhnya persatuan itu, dengan cara mengemukakan enam hal yang harus dijauhi, yang akan membuat persatuan tidak bisa diwujudkan. Enam hal itu adalah :
Sejarah mencatat bahwa sifat-sifat di atas itulah yang ditumbuhkan dan dikembangkan oleh kaum penjajah dulu kepada penduduk pribumi untuk mengadu domba antara satu suku dengan suku yang lainnya, antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya.
Inilah politik devide et impera agar kaum pribumi tidak bersatu, sehingga mereka bisa melenggang dengan nyaman menjajah Indonesia.
Politik adu domba itu dipraktekkan dan ditanamkan secara sangat rapi dan sistematis di kalangan penduduk pribumi sehingga tidak sadar mereka telah berpecah belah, hilang persatuan, hilang kekuatan, lemah tak berdaya, lalu menyerah dijajah.
Mampunya kaum penjajah, terutama Belanda, menjajah Indonesia sampai tiga setengah abad lamanya adalah bukti keampuhan politik adu domba yang mereka buat untuk menghancurkan atau mencegah terjadinya persatuan di kalangan penduduk pribumi, sehingga tidak mampu melawan penjajah.
Antara sesama penduduk Indonesia yang berbeda suku dan atau golongan dibuat saling merendahkan, saling ejek, saling mencurigai, saling iri dengki, saling sikut, saling fitnah, saling mencurangi dan saling menzalimi.
Akibatnya saling bermusuhan karena perbedaan yang mereka menej dengan begitu sistematisnya agar menjadi perbedaan abadi, dan akhirnya juga menjadi permusuhan abadi dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Maka, bila memang bersungguh-sungguh ingin bersatu dan bangkit dari kondisi seperti sekarang, jangan jangan dirawat apa yang ditanam dan diwariskan oleh penjajah tersebut menjadi warisan yang kita praktekkan dan diwariskan kepada anak cucu.
Semua harus dibuang jauh-jauh dari seluruh aspek kehidupan, di masyarakat secara umum, di kantor, di organisasi, di dunia bisnis, dan di mana saja kita berkumpul dan bekerja.
Selama sifat itu masih dipraktekkan, selama itu pulalah persatuan dan kesatuan umat menjadi sesuatu yang utopis. Persatuan dan kesatuan hanya akan wujud bila yang dilakukan adalah lawan dari semua sikap negatif seperti di atas itu, yaitu :
Penulis berkayakinan bila enam yang dilarang oleh Allah dalam al Quran itu tetap dilakukan, dan enam hal yang disebut terakhir tidak dipraktekkan secara sungguh-sungguh, sampai kapanpun tidak akan ada persatuan dan kesatuan yang kokoh di kalangan umat dan bangsa Indonesia walau sampai kering kerongkong bicara. Sampai habis dana menyeminarkannya. Ibarat penyakit, obat diminum, tetapi pantangan tetap dilakukan. Sampai kapanpun sakit tidak akan pernah sembuh.
Kita berpayah-payah menyatukan umat dan bangsa, tapi warisan penjajah untuk berpecahbelah terus kita pertahankan: kecurangan terus dilakukan; perlakuan diskriminatif karena berbeda suku dan atau golongan terus dipraktekkan; saling ejek dan hina terus dilancarkan, sampai kapanpun perpecahan di kalangan umat dan bangsa akan terus ada dan bahkan akan semakin membesar.
Maka, sekali lagi, bila ingin bersatu, ikutlah petunjuk Allah dalam wahyuNya, dan jadilah pemimpin yang memulainya. Allahu A’lam bi al-Shawab.
— — —
Pekanbaru, 31 Agustus 2020 |*Penulis merupakan Guru Besar UIN Suska Riau, Ketua ICMI Provinsi Riau.