BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Secara umum, sejumlah kebijakan pemerintah menjadi pemicu awal munculnya persoalan harga pada tandan buah segar atau TBS kelapa sawit, khususnya di kabupaten/kota di Provinsi Riau.
Hal ini diawali dengan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) 20% dari total ekspor CPO dan Domestic Price Obligation (DPO) harga minyak goreng curah Rp14.000,- per kg. Kemudian dilanjutkan dengan kebijakan pemerintah terkait dengan larangan ekspor CPO, minyak goreng dan turunannya.
“Terakhir ditindaklanjuti dengan kebijakan Presiden tentang pencabutan larangan ekspor CPO, minyak goreng dan turunannya,” kata analis pasar hasil perkebunan Riau Defris Hatmaja, Kamis, 30 Juni 2022.
Masih belum dibukanya izin ekspor secara luas kepada eksportir CPO membuat terjadinya penumpukan CPO pada tangki penimbunan (storage). Dampaknya terjadi pembatasan dan pemberhentian penerimaan TBS pekebun di PKS.
Sedangkan adanya kebijakan Pungutan Ekspor yang relatif tinggi yang berdampak pada tertekannya harga TBS pekebun.
Sejumlah kebijakan pemerintah ini terbukti memberi dampak yang sangat luas, tidaknya hanya pada petani yang menggantungkan ekonomi mereka pada kebun kelapa sawit, hingga mengguncang kondisi ekonomi daerah.
“Misalnya, saat kebijakan DMO 20% dan DPO diberlakukan harga minyak goreng curah Rp14.000,- per kg, TBS kelapa sawit petani masih di harga Rp1.800, sampai Rp2.200, per kg,” kata mahasiswa Program Doktoral Administrasi Publik Universitas Riau itu.
Sebelum kebijakan larangan ekspor CPO, minyak goreng dan turunannya diberlakukan, harga TBS antara Rp. 2.400,- sampai Rp. 2.800,- per kg di tingkat pekebun.
Dampak yang lebih parah terjadi saat ini pasca kebijakan tentang pencabutan larangan ekspor CPO, minyak goreng dan turunannya, di mana harga TBS pekebun semakin rendah yaitu berkisar antara Rp500, sampai Rp1.100, per kg di tingkat pekebun.
Dia menambahkan, hal itu juga berdampak terhadap perusahaan pemilik PKS dan eksportir CPO, di mana terjadi pemutusan kontrak (wanprestasi) dalam perdagangan internasional.
“Eksportir CPO tidak bisa memenuhi pasokan CPO sesuai kontrak yang telah disepakati dan kondisi tersebut berlanjut sampai hari ini,” tuturnya.
Dengan demikian, pasar CPO Indonesia diambil alih oleh Malaysia dimana harga CPO yang mereka terima sekitar Rp20.000 per kilogram dan berdampak positif bagi harga TBS di Malaysia, yaitu sekitar Rp5.200 per kilogram.
Kondisi ini, tentulah berbanding terbalik dengan di Indonesia di mana harga CPO terjun bebas pada kisaran harga Rp8.000 per kilogram dan harga TBS pada kisaran harga Rp500 sampai Rp1.100 per kilogram di tingkat pekebun.
“Stok CPO di tangki penimbunan (storage) mengalami penumpukan dan relatif hampir penuh bahkan sudah banyak yang penuh sehingga sebagian PKS sudah tidak menerima TBS dan tidak mengolah TBS lagi dari pekebun,” tuturnya.
Defris menyebut, secara umum sebagian besar pekebun tidak melakukan pemanenan TBS karena cost produksi sudah jauh lebih tinggi dibanding penghasilan yang diterima.
Sehingga diprediksi kebun-kebun masyarakat akan mengalami kerusakan secara teknis. Ditambah lagi dengan tingginya harga pupuk yang berdampak sebagian besar pekebun tidak dapat melakukan pemupukan kebun.
Apa solusinya?
Defris menyebut, permasalahan yang terjadi saat ini tidak lagi bersifat sektoral, terutama di Kemendag saja yang sampai hari ini masih fokus dengan ketersediaan dan harga minyak goreng.
Sementara stok minyak goreng di pasaran relatif tersedia meskipun harga sedikit lebih tinggi dari harga yang dipatok pemerintah. “Dan secara umum kebutuhan minyak goreng dapat dipenuhi oleh masyarakat,” tuturnya.
Permasalahan utama saat ini adalah di sektor hulu yaitu permasalahan harga TBS pekebun yang cenderung semakin rendah dan ranah harga TBS berada di Kementan. Sementara TBS merupakan bahan baku untuk menghasilkan CPO yang menjadi bahan baku pula untuk memproduksi minyak goreng.
“Untuk mengatasi permasalahan tersebut diharapkan Kemendag dan Kementan melakukan sinkronisasi kebijakan dari hulu ke hilir dikoordinir oleh Kemenko Ekonomi dan pengambil kebijakan lainnya yang terkait,” sebutnya.,
Oleh karena akar permasalahan adalah rendahnya harga TBS dan penumpukan CPO yang tidak terbendung—akibat tidak dibukanya izin ekspor—diharapkan pemerintah menetapkan kebijakan untuk memberikan izin ekspor kepada eksportir CPO dan minyak goreng termasuk turunannya secara luas dengan tetap memperhatikan ketentuan yang ada.
“Diyakini dengan bergeraknya ekspor CPO, minyak goreng dan turunannya, maka akan berdampak pada pergerakan TBS pekebun sehingga diprediksi harga TBS akan semakin meningkat,” sebut Defris.***