BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Harga pupuk naik berpotensi menjadi penyebab utama turunnya produksi Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit di Provinsi Riau.
Meski petani bisa mengandalkan pupuk organik, hasil produksi TBS diyakini tidak akan mampu mendongkrak jumlah produksi.
Ketua DPW Samade Riau Karmila Sari mengatakan, di tengah harga pupuk naik, para petani sawit tetap mengupayakan kebun sawit mereka dipupuk.
Namun kondisinya tidak semaksimal dulu, mengingat rendemen dan kualitasnya juga akan menurun.
“Petani tetap beli juga, tapi pemupukannya jadi nggak maksimal. Mau tidak mau mereka harus melakukan itu daripada tidak ada hasil produksi untuk dipanen,” tuturnya di Pekanbaru, 5 September 2022.
Dia menambahkan, rata-rata para petani kelapa sawit di Riau sudah mengerti bagaimana cara memproduksi pupuk organik untuk kebun mereka. Namun demikian, tanaman sawit tetap memerlukan pupuk kimia.
“Untuk sawit memang beda antara pupuk organik dan pupuk kimia. Pupuk kimia tetap bisa diatur. Artinya komposisi-komposisi yang dibutuhkan akan disesuaikan dan itu tidak bisa diterapkan pada pupuk organik,” jelas Karmila.
Melihat kondisi ini, Karmila meminta, kepada pemerintah untuk merespon cepat mencarikan solusi terhadap tingginya harga pupuk kimia.
Dia menyebut, jika hal ini terus dibiarkan, maka produksi TBS di Riau tahun depan akan turun sangat signifikan.
Jika dibandingkan dengan harga normal, pupuk sawit sudah naik hingga 300%. Katimin berkata, terakhir sebelum terjadi kenaikan signifikan, dia dan para petani lain masih membeli pupuk di harga Rp270.000-an per karungnya. Namun sekarang, harga pupuk sudah di Rp980.000-an, bahkan ada di harga Rp1.000.000 lebih.
Untuk 1 kavling kebun sawit atau luas kebun 2 hektare, setidaknya membutuhkan 10 sak pupuk KCL. Sedangkan hasil panen 1 ton TBS kelapa sawit, hanya cukup untuk beli 2 sak pupuk. “Jauh kali memang (selisihnya),” kata petani kelapa sawit di Siak Katimin.
“Teman-teman saya sekarang sudah banyak tidak memupuk kebun sawit mereka. Mereka sudah sangat terbebani dengan setoran bank dan kebutuhan sehari-hari. Mereka juga punya anak yang sekolah bahkan ada yang kuliah. Semua itu harus ditutupi dengan hasil jual TBS. Jadi mereka memilih untuk tidak memupuk kebun sawit. ” tuturnya.
Katimin menjelaskan, dalam mekanismenya pemupukan, hasilnya baru akan bisa dirasakan di tahun depan. Misal, dilakukan pemupukan pada Agustus 2022, maka untuk melihat hasil TBS kualitas bagus itu baru akan didapat pada Agustus 2023 mendatang.
Oleh sebab itu, kata dia, jika harga pupuk terus naik, petani memilih tidak memupuk kebun sawit mereka, maka pada tahun depan akan terjadi penurunan jumlah produksi TBS kelapa sawit hingga 40%. Hal ini berdasarkan hasil analisa yang mereka lakukan secara berkelompok.
Selama ini, Katimin dan kelompoknya mendapatkan pupuk dari distributor resmi dengan mengikuti mekanisme dan ketentuan aturan berlaku. Sedangkan untuk proses pemupukan, dilakukan per 2 bulan sekali.
Namun, pola dan siklus pemupukan itu kini sudah tak menentu. Selain harga pupuk yang naik hingga 3 kali lipat, ketersediaannya di pasaran juga sangat langka. Dengan demikian, pengaplikasian pemupukan kebun sawit secara benar, tak lagi bisa diterapkan di kebun mereka. Dengan kata lain, rotasi pemupukan sudah tak menentu.
“Jadi, ya seadanya saja lah. Kalau ada, dipupuk, kalau tak ada, ya nggak dipupuk. Jujur, saya dan kawan-kawan petani sawit lain di Siak sangat kebingungan, bagaimana caranya menyiasatinya,” ujar Katimin.***