BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Di Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono I tahun 1785 mencanangkan pola parang rusak sebagai pola larangan di wilayah kasultanan. Beberapa arsip keraton menunjukkan, bahwa pada tahun 1792 dan 1798 ada pembatasan terhadap pemakaian batik bercorak semen dengan sawat, lar, semungkiran dan udan liris.
Bentuk itu diakui sebagai milik keraton yang hanya boleh dipakai oleh raja, bangsawan dan pejabat kerajaan. Dengan demikian jelas bahwa batik yang dipergunakan oleh golongan atas merupakan simbol status sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Pada pemerintahan Hamengkubuwono VII, pola batik larangan lebih ditekankan pada motif huk dan corak kawung. Motif huk tergolong motif non-geometris yang terdiri dari motif kerang, binatang, cakra, burung, sawat dan garuda.
Motif kerang merupakan lambang dari air atau dunia bawah yang bermakna lapang hati. Motif burung huk dipakai sebagai simbol kepemimpinan dan budi luhur. Sedangkan motif sawat merupakan ungkapan ketabahan hati.
Corak lain batik larangan Keraton Yogyakarta adalah corak parang. Corak kain berpola pedang ini dikenakan para ksatria atau penguasa. Komposisi miring pada parang melambangkan kekuasaan dan gerak cepat. Karena itu, para pemakai parang diharapkan dapat bergerak dan gerak cepat dan gesit.
Garis-garis lengkung pada pola parang sering diartikan pula sebagai ombak lautan yang menjadi pusat tenaga alam (yang dimaksud raja). Variasi corak parang seperti parang barong, parang rusak gendreh dan parang klithik.
Ketika Sultan Hamengkubuwono VIII berkuasa, corak parang menjadi pedoman utama untuk menentukan derajat kebangsawanan seseorang. Secara tertulis peraturan tentang corak kain dimuat dalam Pranatan Dalem Jenenge Panganggo Keprabon Ing kerajaan Nagari Ngajogjakarta tahun 1927.
Motif batik lainnya yang menjadi standar istana adalah corak semen, sawat dan udan liris. Kata semen mempunyai konotasi pemujaan terhadap kesuburan dan tata tertib alam semesta. Lukisan batik semen mengutamakan bentuk tanaman dengan akar-akar dan sulurnya. Selain terdapat lukisan lain berupa gunung, burung, sayap, paviliun dan naga.
Lukisan gunung digambarkan secara bersambung, tersusun ke bawah berbentuk meru yang menjadi tempat bersemayamnya arwah nenek moyang atau tempat tinggal para dewa dan pertapa. Lukisan paviliun digambar dalam bentuk rumah beratap segi tiga, kadang-kadang disertai tangga menyerupai bentuk candi tempat pemujaan. Paviliun dapat pula diartikan sebagai tempat meditasi untuk mencapai pencerahan.
Lukisan sulur bisa berbentuk gelombang atau melingkar, sebagai lambang kesuburan dan pertumbuhan. Lambang sulur berkaitan dengan falsafah Jawa nunggaksemi yaitu menciptakan yang baru dari yang lama (regenerasi atau pembaruan).
Di antara sulur-sulur sering ditemui lukisan burung yang melambangkan kehidupan sorga dan dewa-dewa, ataupun lukisan binatang mitologi seperti naga.
Corak semen di Keraton Yogyakarta dikenakan para bangsawan yang menyandang gelar bupati nayaka, pengulu, garwa dalem, cucu dan cicit sultan. Motif ini biasanya dikenal dengan nama semen ageng.
Namun ada satu perkecualian,kalaua motif semen itu tanpa lukisan gunung dan lar (sayap), maka boleh dipakai siapa saja tanpa harus memperhitungkan garis keturunan. (mok/jss)