BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Ada satu tradisi masyarakat pesisir di Kabupaten Inhil yang cukup unik. Yaitu makan ‘belabak’. Tradisi ini bisa ditemukan di Desa Simpang Gaung, atau di desa lain dipedalaman Inhil. Ini salah satu tradisi unik suku Melayu yang hidup di wilayah pulau, atau pinggiran sungai.
Ibu rumah tangga sejak pagi hari sehabis membeli sayur dan bahan masakan lainnya, menghabiskan waktu untuk memasak keperluan makan siang. Sebagian besar masyarakat di pesisir ini memasak lauk pauk dalam varian yang banyak. Seperti sayuran, ikan, sambal goreng dan sejenisnya.
Varian sayur yang dimasak tidak hanya satu. Minimal 3 jenis. Misalnya, daun ubi rebus, gulai katu dan sayur labu bening. Kemudian ada ikan goreng dan ikan gulai. Kadang juga ada kerang rebus, dan lauk yang tidak pernah dilupakan adalah ikan asin goreng. Semua makanan itu ada dalam satu talam.
Makan ‘belabak’ adalah tradisi makan siang atau makan malam berkumpul dengan sanak famili, dan tetangga lainnya. Kalau di daerah Kampar, makan belabak ini sama seperti makan bejambau. bedanya, lauk pauk dari rumah masing-masing dibawa ke rumah tetangga sebelah rumah kemudian dikumpulkan menjadi sebuah hidangan raksasa. Ini biasanya dilakukan 3 sampai 5 kepala keluarga. Barulah mereka menikmati makan siang bersama-sama.
Kalau ditelisik lebih jauh, makan ‘belabak’ sama dengan tradisi makan komunal di Minahasa. Dulu lalu, khususnya di kawasan Asia yang berbatasan dengan Eropa, para ibu memang mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan acara makan bersama di komunitasnya masing-masing. Pada waktu itu budaya tulis dan cetak belum mekar, sehingga penyampaian kisah-kisah Alkitab dilakukan oleh para ibu-ibu yang harus menghafalnya untuk disampaikan pada acara-acara makan malam bersama.Â
Kalau di Sunda ada tradisi makan nasi liwet. Salah satu Dosen Sastra Jawa Universitas Indonesia, Prapto Yuono mengatakan kebiasaan tersebut dimulai dari tradisi dan pengaruh agama Islam di pesantren- pesantren dahulu. Nasi liwet makan disusun memanjang dan dipopulerkan oleh pondok pesantren di tanah Jawa.
Tradisi makan ‘belabak’ di Inhil ini juga sejak lama ada. Dan kini masih menjadi kebiasaan masyarakat pesisir jika di siang hari. Ibu-ibu bahkan menjunjung sejumlah lauk pauk di kepala mereka ke rumah tetangga untuk dikumpulkan kemudian disantap bersama-sama.
Ada nilai sosial yang tinggi dalam tradisi ini. Keluarga miskin yang tidak punya makanan untuk disantap pada siang hari, cukup dengan membawa nasi kemudian dikumpulkan, dan mereka akan menikmati makan siang dengan lauk pauk serba mewah.
Para tetua di desa Simpang Gaung mengaitkan tradisi ini dengan nilai agamis. Makan ‘belabak’ menjadi bukti bahwa menjalin tali silaturrahmi antar tetangga akan mendatangkan banyak rezeki.Â
“Kalau hanya untuk makan, di desa ini sangat jarang ada kepala keluarga yang kelaparan,” ujar Mahmur, salah seorang tokoh masyarakat di desa itu.
Inti dari tradisi makan ‘belabak’ ini, setelah semua makanan dikumpulkan dalam bentuk hidangan raksasa. Semuanya bebas memilik lauk mana yang akan disantap. Bahkan, mereka yang hanya membawa nasi putih, boleh mencicip lauk termewah yang tersaji dalam hidangan itu.
“Kami biasanya dalam seninggu bisa 3 sampai 4 kali makan ‘belabak’. Itu menjadi hidangan yang mewah. Karena ada banyak pilihan makanan di sana. Kami biasa berkumpul di rumah orang tua. Semua sanak keluarga berkumpul. Semuanya mebawa makanan untuk dikumpulkan,” ujar Yanti, seorang ibu rumah tangga di desa itu.
Makan belabak salah satu kekayaan tradisi yang patut dilestarikan. Tradisi ini memang tidak dikenal luas, tapi nilai sosial yang terkandung di dalamnya mengajarkan kebersamaan hidup, senasib dan sepenanggungan. Ini tradisi yang unik dan belum banyak dikenal, bahkan oleh masyarakat Riau sendiri. (bpc3)