BERTUAHPOS.COM — Pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) ditunda DPR karena alasan ‘waktu yang sempit’. Faktanya, selama pandemi melanda kasus kekerasan seksual terhadap wanita terjadi. Harusnya ini menjadi urgensi, bukan malah pembahasan RUU itu ditunda hanya karena alasan waktu singkat, begitu logika publik berbicara.
“Sisa waktu dalam masa tahun sidang berjalan yang semakin singkat dan proses pembahasan yang sulit karena pandemi COVID-19 menjadi alasan di balik rencana penundaan pembahasan beleid ini,” kata Wakil Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang, mengutip BBC News Indonesia, Kamis, 02 Juli 2020.
Namun, di tengah upaya menunda pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Komisi VIII justru mengusulkan akan memasukkan RUU tentang Kesejahteraan Lanjut Usia untuk masuk daftar Prolegnas Prioritas 2020.
Sikap ‘ketidakjelasan’ DPR RI ini mendapat protes keras dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Salah satu komisionernya Siti Aminah Tardi mengecam tindakan DPR yang mengehentikan pembahasan RUU PKS. Bagi mereka langkah DPR itu sama saja mencederai rasa keadilan dan pemulihan ‘taumatik’ para perempuan korban kekerasan seksual.
“(Apa yang dilakukan DPR terhadap penghentian pembahasan RUU PKS) sulit untuk dimengerti. (RUU) yang bertujuan untuk memenuhi keadilan dan pemulihan untuk korban itu di-drop, dibandingkan (RUU) yang lain,” ujar Ami kepada BBC News Indonesia.
Gambaran Kondisi Kekerasan Terhadap Perembuan di Tanah Air
Adapun tiga poin yang menyebabkan RUU PKS tak kunjung disahkan adalah terkait penentuan judul RUU PKS, definisi yang dinilai bermakna ganda dan terkait pidana dan pemidanaan. Selain itu, ada beberapa pasal dalam RUU PKS yang dianggap berpotensi melegalkan praktik seks bebas.
Data dari Kompas Perempuan menunjukkan bahwa tren kekerasan terhadap perempuan meningkat tiap tahun. Dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792%, atau hampir 800%. Artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia selama 12 tahun meningkat hampir 8 kali lipat.
Kendati begitu, kekerasan terhadap perempuan dianggap sebagai ‘fenomena gunung es’. Dapat diartikan dalam situasi sebenarnya, kondisi perempuan Indonesia jauh mengalami kehidupan tidak aman. Dalam survei terbaru, Komnas Perempuan mengidentifikasi bahwa pandemi COVID-19 telah sebabkan kerentanan baru pada kondisi kehidupan perempuan, termasuk pada kekerasan. (bpc3)