BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Kamis malam 10 Oktober 2019, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Riau telah menggelar paripurna dengan agenda pembentukan Alat Kelengkapan Dewan (AKD). Kontroversi hingga kini masih menyertai hasil rapat tersebut.
Tiga fraksi pun masih menyampaikan keberatan atas proses yang telah terjadi. Sementara itu, di ranah nyata dan maya elemen masyarakat tak mau ketinggalan menyampaikan opini. Kebanyakan mengaitkan hasil keputusan pada malam itu sebagai residu dari kontestasi perpolitikan nasional.
Iseng-iseng menguji pendapat masyarakat atas peristiwa politik malam itu, secara instan saya memanfaatkan piranti teknologi yang termudah untuk diakses saat ini. Dengan mengetik “AKD DPRD RIAU†pada kolom pencarian mesin pencarian Google dan mengatur waktu pencarian dalam rentang waktu 1 minggu belakangan. Tak disangka memang benar.Â
Sebagian besar hasil yang muncul mengaitkan dengan frasa “perpecahanâ€, “kubu 01 dan 02†dan frasa lain.
Persepsi publik yang terangkum dalam mesin pencarian Google ini tentu amat disayangkan. Lembaga legislatif yang dalam hal ini DPRD Riau sebagai representasi heterogenitas masyarakat Riau dianalogikan bak akuarium. Selain menampilkan masyarakat konstituennya juga cerminan diri. Idealnya, saat ini kita butuh momentum agar masyarakat dapat menemukan integrasi dari friksi-friksi yang ada.
Apalagi ini konteks kedaerahan. Pemberitaan memakai frasa perpecahan apalagi dikait-kaitkan dengan kontestasi Pilpres sangat tidak sedap didengar. Bagaimanapun mau disangkal, apa yang muncul dari pencarian Google adalah persepsi di akar rumput.Â
Bahkan membaca beberapa pemberitaan media daring, frasa tersebut juga di-blow up oleh media nasional. Yang patut dikhawatirkan, ada pihak yang sengaja menginginkan perpecahan ini terjadi di DPRD Riau demi memuaskan ambisi politik pribadi atau kelompoknya.
Meski begitu, menyikapi hasil keputusan politik yang telah terjadi, saya secara pribadi menganggap adalah yang wajar dalam dunia perpolitikan dengan cara merebut kekuasaan. Yang mana dalam proses tersebut, sudah pasti ada pihak yang berhasil merebutnya dan sebaliknya. Namun, implementasinya tentu ada ruangnya. Dan tidak mengobankan kepentingan lebih besar, yakni penguatan kelembagaan sebagai alat untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat.
Eksekutif dan Legislatif
Meski sama-sama lahir dari proses politik, sudah mahfum bahwa terdapat perbedaan yang mendasar antara lembaga eksekutif dan legislatif. Winner takes all yang menjadi jargon lepas kontestasi politik dalam lingkup eksekutif sering taken for grated.Â
Namun praktiknya akan berbeda di lembaga legislatif. Karena eksekutif melekat pada sosok pemimpin, sedangkan kekuatan legislatif ada pada kelembagaannya. Karena bicara kelembagaan, maka yang dilihat bukan person to person. Tapi unsur-unsur yang menyusun kelembagaan legislatif. Artinya ada kelompok dan fraksi yang mesti direkatkan agar tercipta kolektivitas yang berdampak pada totalitas memperjuangkan agenda bersama dari kelembagaan legislatif tersebut.
Cara mewujudkan kolektivitas tersebut tentu dengan menyiasati bagaimana cara agar beban dan tanggungjawab memiliki kelembagaan dapat terdistiribusi secara merata ke semua perwakilan kelompok politik yang ada, yang dalam hal ini fraksi. Melibatkan semua dalam politik kekuasaan, maka secara otomatis akan membuat jalannya lembaga legislatif dapat bertanggungjawab secara kolektif.
Justru akan berimplikasi negatif jika ada yang tidak dilibatkan. Karena, ketika menjalankan fungsi lembaga legislatif nantinya, beban dan pertanggungjawaban hanya akan dipikul oleh kelompok mana yang mendominanasi. Dalam logika awam, ini jelas bisa jadi dalih bagi yang tidak terlibat untuk menerapkan beragam excuses ketika lembaga legislatif gagal dalam menjalan fungsinya.
Eksekutif butuh Legislatif
Penyelenggaraan pemerintahan oleh eksekutif sangat membutuhkan dukungan politik lembaga legislatif. Namun dukungan tersebut butuh prasyarat, yakni ada konsolidasi dan semangat kebersamaan di lembaga legislatif dan keterpaduan antara unsur-unsur politik di dalamnya yang membentuk kelembagaan DPRD. Ketika ini mewujud, efeknya akan lebih mudah terbentuk kesamaan persepsi antara pihak penyelenggara pemerintahan.
Semakin kompak dan solid kelembagaan legislatif, maka semakin baik pengawasan dan dukungan terhadap eksekutif dalam menjalankan agenda-agendanya. Sebaliknya, jika terbentuk faksi atau perpecahan, dampaknya bukan hanya melemahkan lembaga legislatif. Namun dikhawatirkan juga berimplikasi pada perjuangan untuk mengawal aspirasi masyarakat. Disamping yang telah disinggung sebelumnya, beban tanggungjawab hanya akan terpusat pada pihak yang memainkan kekuatan sentral dan mayoritas. Ini tentu sangat tidak diinginkan.
Memperjuangkan kemajuan dan kesejahteraan bagi masyarakat Riau hanya akan bisa dicapai jika melibatkan semua pihak. Bagi sebuah lembaga legislatif, power sharing bukan hanya dimaknai bagi-bagi kekuasaan. Mendominasi bukan berarti kemenangan. Power sharing adalah cara agar tanggungjawab dapat dimiliki semua fraksi dan kelompok yang ada, dan alat inilah yang dipakai untuk memperjuangkan agenda publik secara bersama-sama.
Dan sekali lagi disampaikan, ini konteks kedaerahan. Maka, apa yang dikehendaki adalah kesatuan dan kolektivitas untuk mencapai tujuan kelembagaan. Dan anasir-anasir negatif yang mengaitkan dengan politik di luar konteks kepentingan daerah haram untuk dibawa-bawa ke sini. Dan kita tidak menginginkan ada pihak yang coba melestarikan perpecahan dan membawanya ke dalam bumi lancang kuning ini.
Terakhir, apa yang masyarakat inginkan tentu agar periode DPRD Riau 2019-2024 lebih baik lagi ke depan. Bak kata pepatah: “Yang Baik Dijadikan Teladan, Yang Buruk Dijadikan Sempadanâ€. Jika ada hal yang baik di periode sebelumnya adalah bekal yang berharga. Namun kekurangan tentu patut diambil sebagai pelajaran. Friksi dan faksi yang terjadi pada masa sebelumnya tidak seharusnya dilestarikan. Apalagi dunia perpolitikan adalah dunia yang sangat dinamis. Kita sangat tidak menginginkan lembaga legislatif melestarikan siklus ini lagi dan lagi. Harus ada keberanian dan tekad bersama untuk mengakhiri ini. Karena ada hajat lebih urgen untuk diperjuangkan. Dan kolektivitas adalah kunci untuk mencapainya.
Sofyan Siroj, Aw, Lc, MM, Anggota DPRD Riau*