BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Tak lama setelah memenangkan Pilgub Riau dan mengalahkan pasangan petahana pada Pilgub Riau lalu, Gubernur Riau terpilih Syamsuar sudah melanjutkan beberapa aksi hingga menjadi polemik dan bikin publik heboh.
Syamsuar dan wakilnya Edi Natar Nasution baru akan dilantik sebagai Gubernur Riau dan Wakil Gubernur Riau definitif pada awal 2019 nanti. Kemenangan dalam Pilgub Riau lalu sebenarnya sudah diprediksi oleh masyarakat, sebab elektabilitasnya melejit terus dengan track record-nya selama memimpin Kabupaten Siak.
Intinya Syamsuar tidak sendiri. Ada campur tangan tim pendukung lainnya yang mengambil peran. Berikut ini beberapa catatan polemik yang diciptakan Syamsuar semenjak dia menjadi Gubernur Riau terpilih.
1. Polemik tim transisi
Setelah menang di Pilgub Riau, Syamsuar ingin menitip tim transisi dalam pembahasan APBD Riau 2018. Keinginannya kemudian merespon banyak tanggapan dari pemerintahan masa Andi Rachman, dan pengamat politik dan pemerintahan.
Di satu sisi, memang dibolehkan pembahasan APBD 2019 melibatkan tim transisi Syamsuar agar janji kampanye bisa masuk dalam program kegiatan di APBD 2019. Namun di kalangan pemerintahan di masa Andi Rachman awalnya ada sikap ‘enggan’ melibatkan tim transisi dengan alasan rancangan APBD tahun depan sudah disusun. Jika tim transisi dilibatkan, artinya ada perencanaan baru yang harus disusun kembali.
Namun upaya lobi dari tim transisi membuahkan hasil. Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) beserta Badan Anggaran (Banggar) DPRD Riau membuka pintu dan mempersilahkan tim transisi masuk.
Beberapa usulan sudah diajukan pada saat rapat membahas soal anggaran diantaranya penekanan soal pendidikan, infrastruktur dan kesehatan. Meskipun sejumlah kepala dinas di Pemprov Riau mengatakan bahwa usulan tim transisi tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah disusun oleh TAPD Riau.
2. Polemik deklarasi dukungan untuk Jokowi
Pada pertengahan Oktober lalu hampir seluruh kepala daerah di Riau dan Syamsuar sebagai Gubernur Riau terpilih mendeklarasikan dukungan kepada Jokowi-Ma’ruf di Pilpres 2019. Diduga Syamsuar sebagai motor gerakan ini.
Suhu politik di Riau seketika memanas. Serangan protes terutama dilancarkan oleh partai-partai yang berkoalisi dengan Syamsuar kemudian mendukung pasangan Prabowo-Sandi, dan merasa kecewa sebab ternyata Syamsuar mendeklarasikan diri melabuhkan dukungan untuk Jokowi.
Pasca deklarasi di hotel Aryaduta Jalan Diponegoro, Pekanbaru tersebut, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Riau mengencangkan tali sepatu kemudian memanggil seluruh kepala daerah, yang diduga terlibat dalam deklarasi tersebut. Syamsuar termasuk salah satu kepala daerah mengulur waktu untuk memenuhi panggilan Bawaslu.
Bahkan, tidak lama setelah deklarasi itu Syamsuar berangkat ke tanah suci Mekah untuk melaksanakan ibadah umrah, setelah pulang kembali ke Riau, barulah dia menyambangi kantor Bawaslu Riau untuk memberikan keterangan.
Menurut informasi yang diterima bertuahpos.com melalui sumber terpercaya di internal Bawaslu Riau, 2 jam sebelumnya keputusan diambil, Bawaslu Riau menyatakan bahwa deklarasi itu dianggap sebuah kesalahan sebab status kepala daerah adalah pejabat daerah (publik). Menurut Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017, pejabat daerah tidak boleh melakukan tindakan yang merugikan atau menguntungkan salah satu peserta pemilu.
Namun setelah dikaji kembali, Bawaslu menemukan bahwa deklarasi mendukung Jokowi-Ma’ruf sebagai presiden di Pilpres 2019 itu bagian dari kampanye dan kepala daerah (bupati) adalah pejabat politik dan boleh ikut dalam kampanye. Di bagian dalam Undang-Undang yang sama, kepala daerah sebagai pejabat politik boleh ikut kampanye dengan syarat tidak menggunakan fasilitas negara dan mengantongi izin cuti. Pada bagian inilah, seluruh kepala daerah yang ikut deklarasi dinyatakan tidak bersalah.
3. Polemik penghapusan uang komite sekolah
Wakil Ketua DPRD Riau, Noviwaldy Jusman membocorkan keinginan tim transisi Syamsuar menginginkan dana komite sekolah masuk dalam tanggungan APBD 2019. Jubir tim transisi Gubernur Riau terpilih, Syamsuar, Saiman Pakpahan membenarkan rencana dihapusnya uang komite sekolah pada 2019 benar adanya. Saiman mengatakan alasan dihapusnya uang komite agar masyarakat tidak lagi mengeluarkan banyak uang untuk pendidikan. Pemerintah di masa Syamsuar berencana akan menanggung kebutuhan infrastruktur melalui penganggaran di APBD 2019.
Namun di satu sisi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, membolehkan pihak sekolah untuk memungut uang komite dari wali murid dengan asas musyawarah dan kesepakatan bersama serta dikelola secara profesional dan akuntabel. Jika merujuk pada peraturan ini, maka wacana dihapusnya uang komite sekolah sama saja bohong, sebab komite sekolah juga punya landasan kuat untuk melakukan pungutan uang kepada wali murid.
Dalam peraturan ini disebutkan, bahwa Komite Sekolah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orangtua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan. Pasal 2 ayat (1,2,3) berbunyi: Komite Sekolah berkedudukan di tiap sekolah, berfungsi dalam peningkatan pelayanan pendidikan; menjalankan fungsinya secara gotong royong, demokratis, mandiri, profesional, dan akuntabel.
Anggota Komite Sekolah terdiri atas: Orangtua/wali dari siswa yang masih aktif pada sekolah yang bersangkutan paling banyak 50 persen, kemudian tokoh masyarakat paling banyak 30 persen, antara lain: memiliki pekerjaan dan perilaku hidup yang dapat menjadi panutan bagi masyarakat setempat; dan/atau, anggota/pengurus organisasi atau kelompok masyarakat peduli pendidikan, tidak termasuk anggota/pengurus organisasi profesi penduduk dan pengurus partai politik. Selanjutnya pakar pendidikan paling banyak 30 persen, antara lain: Pensiunan tenaga pendidik; dan/atau, orang yang memiliki pengalaman di bidang pendidikan.
Di Provinsi Riau, ada 2 janis guru non PNS, pertama guru bantu yang diangkat oleh Pemda dan Guru honor yang diangkat oleh sekolah. Untuk membayar gaji guru honorer sekolah, maka biasanya dikeluarkan melalui dana yang dipungut oleh komite sekolah. Selain itu uang komite juga bisa digunakan untuk pelayanan dan kelengkapan infrastruktur sekolah dengan tujuan perbaikan kualitas. Sedangkan untuk guru bantu, beban gajinya diakomodir dalam APBD melalui kucuran dana Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDa) dengan besaran 15 persen.
Pihak Badan Anggaran di DPRD Riau tengah merancang rencana penghapusan uang komite tersebut dan akan digantikan melalui penganggaran di APBD 2019. Namun wacana penghapusan uang komite ini mendapat respon negatif atau penolakan dari beberapa guru dan kepala sekolah yang ada di Provinsi Riau. “Dimana letaknya kesalahan uang komite? Itukan sifatnya sukarela orang tua siswa. Kalau mereka mau menyumbang, kita tolak? Kan yang gak mampu, gak ada kita minta,†ujar salah seorang kepala sekolah di salah satu SMAN Provinsi Riau yang tidak ingin disebutkan namanya.
“Apa Pak Syamsuar bisa menjamin nasib kami guru komite? Kalau bisa silahkan dihapus. Kalau tidak, jangan main hapus saja. Ambil kebijakannya lihat semua arah dong!†ungkap salah seorang guru komite di salah satu SMAN Provinsi Riau yang juga tidak ingin disebutkan namanya. (bpc3)Â