OMAN FATHURRAHMAN
Staf Ahli Menteri Agama Bidang Manajemen Informasi dan Komunikasi
Corona melanda, Indonesia pun darurat bencana. Pada 11 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan keadaan pandemic akibat penyebaran wabah Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).
Pandemic berasal dari bahasa Yunani: “pan” yang berarti semua; dan “demos” yang berarti orang. Status sebuah penyakit menular akan ditingkatkan dari epidemic menjadi pandemic manakala penyebarannya sudah melewati batas negara dan benua, serta dampak mematikannya sudah membahayakan manusia dalam jumlah tak terhingga.
Pandemic bukan hal baru dalam sejarah umat manusia, sudah berulang kali ia ada.
Di abad 20, status pandemic sering dihubungkan dengan wabah penyakit flu, seperti: ‘flu Spanyol’ tahun 1918 yang menewaskan sekira 50 juta penduduk dunia, ‘flu Asia’ tahun 1957-1958 yang mengakibatkan 1,1 juta kematian, serta ‘flu Hongkong’ tahun 1968 dengan korban tidak kurang dari 1 juta jiwa.
Sejarah niscaya mencatat tragedi kemanusiaan lainnya yang diakibatkan wabah mematikan, termasuk yang terjadi di Nusantara.
Pandemic terbesar yang terekam dalam sejarah umat manusia terjadi sejak abad 6 M. Ada wabah pandemic yang tingkat mematikannya mencapai 70 hingga 100 persen. Michael W. Dols (1974), dalam artikelnya “Plague in Early Islamic History”, mengulas tiga pandemic besar yang menimpa umat manusia, yakni: Wabah Yustinianus (Plague of Justinian) (541-542 M), Maut Hitam (Black Death) (1347-1351), dan Wabah Bombay (Bombay Plague) (1896-1897).
Ini bukan berarti tidak ada lagi pandemic atau epidemic lainnya. Tak mudah mengetahui pasti seberapa mematikannya wabah di ketiga situasi pandemic di atas. Yang jelas, jumlah penduduk dunia menurun drastis setelah itu; pola kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi pun berubah.
Narasi Agama Menghadapi Bencana
Lalu, apa hubungan pandemic dengan narasi agama? Ternyata, sejarah pandemic sering melahirkan narasi yang menggambarkan kecenderungan sikap dan perilaku masyarakat beragama dalam menyikapi bencana.
Saat ini misalnya, di tengah upaya Pemerintah melalui Kementerian dan Lembaga, serta aksi berbagai pihak untuk menanggulangi dampak wabah COVID-19 sesuai standar kesehatan dunia, masih terselip narasi dan aksi atas nama agama yang justru kontra produktif dengan logika dan edukasi yang para ahli medis berikan.
“Saya lebih takut pada Tuhan”, “Kalau sudah tadir-Nya, di mana pun akan mati”, atau “wabah adalah cobaan Tuhan, kita harus lebih dekat dengan-Nya, bukan menjauhi-Nya”. Sepintas narasi itu terdengar benar. Agama dibenturkan dengan logika. Namub, cara pandang ini biasanya menjauhkan pemiliknya dari sikap waspada.
Padahal, otoritas kedokteran mengakui bahwa belum ada vaksin yang dapat mencegah COVID-19. Upaya yang bisa kita lakukan semata menghindar agar tidak terinfeksi olehnya. Para dokter sepakat bahwa pola penularan COVID-19 ini adalah melalui kontak antarorang (person-to-person spread), serta melalui tetesan kecil dari hidung atau mulut ketika seseorang yang terinfeksi virus ini bersin atau batuk.
Karenanya, cara efektif untuk mencegah penyebarannya adalah dengan memutus mata rantai penularan COVID-19 dari orang ke orang dari jarak dekat. Kita pun lalu mengenal istilah social distancing. Pada 15 Maret, Presiden Jokowi menerjemahkan social distancing itu menjadi seruan untuk bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan ibadah di rumah selama 14 hari sampai krisis wabah mereda.
Sontak seruan itu menuai reaksi sebagian masyarakat beragama. Bertebaranlah narasi bahwa seruan itu sama saja dengan upaya mengikis keimanan, menduakan rasa takut kepada Tuhan. Apalagi, ibadah di rumah berarti mengosongkan rumah ibadah, mengurangi silaturahim, dan menjauhkan diri dari Tuhan.
Virus Corona pun dinarasikan sebagai konspirasi iblis, jin, dan setan untuk menjerumuskan manusia. “Kami tidak takut Corona, kami lebih takut pada Tuhan”, ungkapan ini berkali-kali digelorakan. Sepintas tampak semangat beragama, tapi sesungguhnya menjauhkan dari esensi agama, yakni memuliakan manusia, dan menjaga bahkan satu nyawa sesama.
Dalam konteks masyarakat Muslim, narasi itu semakin mencuat ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa No. 14 Tahun 2020 tentang “Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah COVID-19”. Dalam Fatwa itu MUI antara lain menyerukan untuk meniadakan shalat Jumat dan ibadah berjamaah lainnya di masjid yang terletak di ‘zona merah’ COVID-19.
Alih-alih mematuhi, ada yang menganggap fatwa itu “fobia dengan masjid”, umat malah diseru menggalakkan gerakan sholat berjamaah meski di tengah wabah Corona. Seruan MUI dan ormas-ormas Islam pun seakan tidak mempan. Di satu masjid, shalat Jumat ditiadakan, tapi shalat zuhur di masjid itu yang juga melibatkan kerumunan, tetap diadakan. Logikanya di mana?
Kalau mau menelisik lebih apik, sumber-sumber Arab sesungguhnya telah mencatat dengan baik bagaimana Nabi Muhammad SAW dan para sahabat menyikapi pandemic. Nabi dan orang-orang suci tidak kemudian menantang wabah atas nama tauhid, atau bersikap sembrono atas nama “hanya takut pada Allah”. Mereka justru terdorong mengajarkan bahwa esensi agama adalah menjaga kemanusiaan, salah satu maqasid syari’ah (maksud syariat) adalah hifz al-nafs (menjaga jiwa). Itulah tauhid yang sesungguhnya.
Sebagian sarjana terkemuka Muslim abad pertengahan juga pernah mengalami wabah, atau yang mereka sebut sebagai tha’un, mematikan. Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 1449 M) misalnya. Ia kehilangan 3 (tiga) putri yang disayanginya akibat tha’un: Fatimah, ‘Aliyah, dan Zin Khatun si sulung yang bahkan sedang hamil.
Lalu, apa yang kemudian al-‘Asqalani lakukan? Menulis karya yang ia dedikasikan untuk mengingatkan sesama tentang bahasa tha’un. Al-‘Asqalani ingin kematian ketiga putrinya tidak sia-sia; mereka harus jadi martir bagi nyawa manusia lainnya.
Al-‘Asqalani pun menulis kitab Badzl al-Ma’un fi Fadhl al-Tha’un. Ia jauhi sikap pasrah menyerah pada takdir Allah. Ia memperlakukan pandemic wabah sebagai ‘inspirasi’. Ia pun menuangkan pandangan dan sikap beragamanya yang rasional dalam memahami wabah.
Karya al-Asqalani ini telah ditahqiq oleh seorang filolog bernama Ahmad Ishom Abd al-Qadir al-Katib. Ia mengulas detil tentang definisi tha’un, baik secara metafisis maupun medis, jenis-jenisnya termasuk Black Death di Eropa, pandangan ahli medis terhadap tha’un, cara menghindarinya, hukum syahid bagi korban, dan tentang bagaimana Muslim harus menyikapi wabah.
Saya berencana mengupas kitab ini dalam program Ngariksa, Jumat depan. Jadi tidak mungkin di sini saya habiskan. Semoga tak ada aral melintang.
Belajar dari Masa Lalu
Bangsa Eropa pernah mengalami masa kelam akibat sikap fanatik sebagian umat beragama menyikapi pandemic ‘the Black Death’. Saat otoritas Eropa kehabisan ide atasi wabah, masyarakat putus asa; mereka mulai mengaitkan bahwa umat Yahudi adalah pembawa petaka, hingga Tuhan pun murka. Narasi ini berhasil memprovokasi kelompok esktrem dalam menafsir agama. Konflik pun terjadi, ribuan Yahudi dipersekusi. Sudah jatuh tertimpa tangga.
Menghadapi Corona kini, para ahli agama perlu lebih erat bergandengan tangan dengan ahli medis dan kesehatan untuk bersama-sama meyakinkan kepada publik bahwa sejarah telah membuktikan, wabah pandemic tidak mengenal agama, ras, usia, gender, dan kelas sosial. Ia tidak pilih kasih, ia juga tidak memilih. Ia akan menyerang semua, dan karenanya harus dihadapi bersama.
Pemerintah sudah memutuskan Indonesia darurat bencana akibat Corona. Berbagai tokoh agama sudah berijtihad menunda ritual agama, meski kita semua paham bahwa itu bukan berarti menunda beragama.
Mari belajar dari sejarah, mari berguru dari para suhu masa lalu. Dalam situasi bencana, beragama yang paripurna bukan dengan cara mengabaikan keselamatan sesama, melainkan dengan menjaganya melalui berbagai cara, social distancing salah satunya. Bertauhid adalah meyakini bahwa Dia Maha Mutlak, Dia Mencipta, Dia juga Meniada. Kita wajib berdoa, sambil tetap mematuhi nalar dan logika dengan senantiasa berupaya.***
Artikel ini sudah tayang di situs Kemenag.go.id pada 21 Maret 2020 pukul 04.23 WIB